A, Basis Asumsi Teori Globalisasi
Pada dasarnya, globalisasi lebih banyak diawali dengan proses hubungan perdagangan antar bangsa. Banyak bangsa di berbagai kawasan dunia yang tidak menampik kekurangan yang ada dalam negaranya. Dan untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya, Negara ini perlu menjalin hubungan perdagangan antarbangsa.
Akan tetapi, eksploitasi perdangan menjadi berubah setelah bergulirnya revolusi industri di Eropa seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, melakukan eksplorasi besar-besaran di berbagai kawasan yang selanjutnya ekksplorasi ini berubah menjadi nafsu untuk menjajah Negara tereksplorasi ini. Dengan demikian, antara kapitalisme masa lalu dan kapitalisme global sebenarnya hakekatnya adalah sama, yang membedakan yaitu metode untuk eksploitasi. Mansour Fakih (dalam M. Agus Nuryanto. 2011:65-66), melacak akar geneologi istilah globalisasi dan neoliberalisme. Menurutnya, kedua idiologi dominan ini merupakan bagian dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain. Sejarah dominasi dan eksploitasi ini dibagi tiga fase.
Fase pertama adalah masa kolonialisme yang ditandai dengan ekspansi secara fisik kapitalisme di Eropa untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Fase kolonialisme merupakan fase dimana dominasi atas manusia lain melalui bentuk penjajahan secara langsung dan terjadi selama ratusan tahun. Ini adalah masa kelam dalam sejarah umat manusia. Masa penjajahan secara fisik dalam sejarah berakhir pasca Perang Dunia II, meskipun sebenarnya banyak negara di Afrika baru mereka tahun 1970-an.
Fase kedua,kolonialisme tidak lagi secara fisik dan langsung, tetapi melalui penjajahan teori dan metodologi, atau apa yang disebut pembangunan atau developmentalisme. Meskipun negara-negara penjajah tidak lagi mencengkeram secara fisik negara-negara bekas koloninya, namun mereka secara suptantif masih mengontrol negara-negara tersebut melalui teori dan proses dan perubahan sosial mereka. Ternyata teori pembangunan tidak berhasil, karena teori ini memang dikonstruksi dan diproyeksikan sebagai paradigma dominan untuk perubahan sosial. Fase kedua ini disebut dengan fase neokolonialisme, sebab dominasi tidak lagi dilakukan secara kasat mata dan telanjang tapi secara terselubung yang tidak jarang membuat tidak sadar bahwa mereka didominasi. Ketidaksadaran atas dominasi ini dalam bahasa Gramsci disebut dengan hegemoni.
Fase ketiga,ditandai dengan liberalisasi disegala bidang diinisiasi oleh lembaga finasial global dan disepakati oleh rezim GATT dan WTO. Ini adalah era dominasi baru dengan wajah globalisasi. Globalisasi merupakan media yang paling efektif saat ini untuk menyebarkan agenda-agenda neoliberalisme yang mengintegrasikan ekonomi nasional ke dalam ekonomi global dengan basis utama pasar bebas.
Mansour Fakih (2009:187) mengatakan istilah globalisasi sesungguhnya secara sederhana dipahami sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global.
1. Globaliztion of Nothing
Selain karyanya tentang McDonaldisasi dan eksportasi global dari alat-alat komsumsi baru, Ritzer (2004:694) menyatakan bahwa kita menyaksikan globalisasi “nothing” (globalization of nothing). Perhatikan dia tidak mengatakan bahwa globalisasi bukan sesuatu (globalization of nothing, sesungguhnya, jelas bahwa proses itu sangat signifikan. Argumen sesungguhnya adalah, dengan menggunakan istilah yang dipinjam dari Weber, bahwa ada elctive affinity antara globalisasi dan “bukan sesuatu” (nothing). Yakni, sesuatu bukan akibat dari sesuatu yang lain, tetapi cenderung bervariasi bersama-sama. Jadi, globalisasi menyebarkan nothing keseluruh dunia. Tentu saja yang penting dari sini adalah makna nothing.
Yang dimaksud nothing oleh Ritzer (secara umum) adalah bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara sentral (sebagian besar) kosong dari isi yang distingsif (sebaliknya sesuatu) didefinisikan sebagai bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara indigenous (yang sebagian besar) kaya dalam isi distingtif.
Ada lima subtipe nothing, dan semuanya sebagian besar kosong dari isi distingtif dan sedang mengglobal. Keempat subtipe itu adalah non-places (Auge, 1995), atau seting yang sebagian besar kosong dari isi (misalnya, mall yang didiskusikan di atas); non-things, seperti kartu kredit, di mana tak banyak berbeda dari satu kartu kredit seseorang dengan jutaan kartu kredit orang lain dengan cara penggunaannya persis sama, non-people, atau jenis karyawan yang diasosiassikan dengan, misalnya, telemarketer dan berinteraksi dengan semua konsumen dengan cara yang hampir sama, mengandalkan pada scripts; non-services, seperti yang disediakan ATM (pelayanan yang disediakan sama; konsumen mengerjakan semuannya untuk mendapatkan pelayanan) yang berbeda dengan seorang pelayan teller bank.
Ada lima hal yang dipakai untuk membedakan nothing dengan something, dan lebih khusus lagi, untuk membedakan non-places-places, things-non-things, people-non-people, dan services-non services.kutub sebelah kiri dari perbedaan berikut adalah ujung dari kontinum “sesuatu” (something) sedangkan yang sebelah kanan adalah ujung “bukan sesuatu” (nothing).
1. Unique –generic. Yang unik cenderung menjadi something. Misalnya (1989) telah menulis apa yang dia namakan “great good places” seperti kedai dan kafe lokal. Personil, makanan, pelanggan, dan suasananya berada pada ujung unique dari kontinum ini. Gerai rantai fast-foot jelas merupakan contoh dari ujung generic.
2. Lokal-ties-lack of lokal ties. Ikatan kepada komunitas lokal cenderung diasosiasikan dengan something, sedangkan kurangnya ikatan semacam itu cenderung diasosiasikan dengan nothing. Misalnya, departement store GUM yang terkenal (mall indoor atau arcade ketinggalan jaman [ Benjamin, 1999], sampai ambruknya komunisme di uni soviet, penuh dengan barang dan toko lokal ; ia mempunyai ikatan lokal yang mendalam. Sekarang GUM merupakan jaringan toko internasional tanpa ikatan lokal dan komposisinya sama seperti mall-mall lain diseluruh dunia.
3. Temporally specific-time less, seperti halnya yang terikat dengan ruang, hal-hal yang terikat dengan periode waktu tertentu cenderung menjadi something, sedangkan yang terikat dengan waktu tertentu cenderung menjadi nothing. Colonial Wiliamsburg terikat dengan periode waktu tertentu dan karena itu adalah something meski dalam
kenyataannya ia pada dasarnya adalah tempat hiburan bertema (thema park). Sebaliknya, disney Word adalah self –consciously time-less karena ia mencoba merepresentasikan berbagai perbedaan waktu (riil dan imajiner) atau bahkan tanpa periode waktu sama sekali.
4. Humanized-Dehumanized. Hal yang banyak memuat hubungan antarmanusia cenderung menjadi something, sedangkan yang kurang hubungan manusia itu (dehumanized) cenderung menjadi nothing. Jadi, peminjaman personal yang dinegosiasikan antara pihak bank dan konsumennya, dan pinjaman kartu kredit yang sepenuhnya impersonal yang disetujui oleh program komputer, masing-masing merupakan contoh yang sangat bagus dari dua ekstrem dari kontinum ini.
5. Enchanted- disenchanted. Kontinum akhir ini cenderung mengumpulkan semua yang sudah ada. Yang merupakan something cenderung mempunyai kualitas magis dan memikat, sedangkan yang nothing lebih mungkin bersifat tak memikat, kurang misterius atau magis. Jadi, makanan yang diberikan kepada kita dari domino dan dalam paket yang dapat dimasak dalam microwave untuk makan malam tampaknya kecil kemungkinannya untuk membuat kita terpesona dengan makanan itu. Di lain pihak, makanan yang dibuat sendiri oleh ahlinya mungkin akan lebih menarik. Melihat bagaimana berbagai campuran bumbu dan makanan diubah menjadi hidangan tampaknya bersifat magis. Novel dan film like water for chocolate memberikan contoh yang baik dari daya tarik yang diasosiasikan dengan penyiapan makanan dan konsumsi makanan buatan tangan yang memikat.(film.Chocolate itu juga menampilkan permen buatan tangan yang juga mengandung kualitas yang memikat).
Jadi, argumen dasarnya adalah bahwa globalisasi membawa penyebaran nothingness keseluruh dunia. Secara lebih spesifik, kita menyaksikan proliferasi global menuju nothing, yang dicirikan oleh konsepsi dan kontrol terpusat, kurangnya isi yang distingtif, generik, kurangnya ikatan lokal, time-less,the humanisasi, dan kekecawaan (disentchantment). Tentu saja, hal-hal yang cenderung menjadi something juga diglobalkan (globalized), tetapi pada tingkat yang lebih rendah dan dampaknya tidak begitu besar pada dunia. Lebih jauh, sementara barang-barang yang mahal bisa menjadi nothing (satu juta tas guci dalam pengertian ini tak banyak bedanya dengan satu juta Big Mac), yang murah jauh lebih mungkin menjadi nothing, atau dijadikan murah (karena ekonomi skala) dan dijadikan nothing setelah ditransformasi menjadi komoditas yang diproduksi jutaan atau miliaran kali dan dijual di seluruh dunia. Jadi, meski internet dan berbagai bentuk sarana telekomunikasi memungkinkannya untuk menjual karya-karya seni besar ke seluruh dunia, namun dalam dampak dari penjualan karya seni besar itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan distribusi global karya seni Disney.
Teori mengenai globalisasi menurut George Ritzer, muncul sebagai hasil dari rentetan perkembangan internal atas teori sosial melawan perspektif yang telah ada sebelumnya yaitu teori modernisasi. Karakteristik dari teori ini adalah orientasinya yang menyebarluaskan fokus utama dari dunia Barat. Definisi dari globalisasi sendiri adalah difusi dari seluruh praktek di
seluruh dunia, pelebaran hubungan antar benua, organisasi, kehidupan sosial pada skala global, dan tumbuhnya kesadaran global. Globalisasi sendiri terjadi dalam beberapa dimensi utama yaitu : politik/institusi, ekonomi, budaya. Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama(homogenitas), atau proses dimana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang mengarah ke pencangkokan kultur (heterogenitas). Pada level ekonomi, globalisasi dapat dilihat sebagai penyebaran ekonomi pasar keseluruh kawasan dunia yang berbeda (heterogenitas). Namun pada pandangan lain, globalisasi ekonomi juga dapat menyebabkan komodifikasi kultur lokal dan ekspansi spesialisasi yang fleksibel yang bisa mengaitkan berbagai produk dengan kebutuhan dari beragam spesifikasi lokal (heterogenitas). Sedangkan pada globalisasi politik/institusi dapat berupa penyebaran model nation-state diseluruh dunia. Tumbuhnya model tata pemerinthan ini diseluruh dunia kurang lebih serupa bentuknya. Dan pada tingkat institusi, dapat dilihat melalui pertumbuhan institusi dan organisasi transnasional banyak menghilangkan kekuasan negara-bangsa dan struktur sosial-lokal lainnya untuk membuat perbedaan dalam kehidupan individu. Salah satu pandangan yang paling ekstrem tentang homogenisasi dalam dunia politik adalah pemikiran Barber tentang „McWorld‟, atau berkembangnya orientasi politik tunggal yang semakin pervasif diseluruh dunia (Rizer & Goodman, 2007).
Dalam perspektif Marxian, kekuatan utama dari globalisasi adalah pada meningkatnya keuntungan dari perusahaan multinasional melalui imperialisme ekonomi yang semakin jauh. Selain itu kekuatan dari globalisasi juga terletak pada adanya hegemoni kebudayaan di seluruh dunia yang mendukung perusahaan multinasional dan negara Barat. Sedangkan dalam perspektif Weberian menganalisis bahwa peningkatan ketersediaan struktur-struktur terasionalisasi disemua tempat dan kontrol atas manusia diseluruh dunia dalam konteks konsumsi. Struktur yang terasionalisasi memiliki kecenderungan untuk mereplika diri mereka diseluruh dunia dan membuat negara-negaranya yang tidak memiliki struktur tersebut ingin memilkinya (George Ritzer).
Drucker (dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011:691) mengatakan tentang globalisasi adalah sebuah rentetan sistem yang menyeluruh untuk berbagai proses yang berada di jantung ekonomi global; penyebaran ekonomi global secara instan, pertumbuhan dan perdagangan internasional yang cepat, pasar uang global (pasar perusahaan global).
2. McDonaldisasi
Secara teoritis pendorong utama dalam The McDonaldisasi of Society (1993, 1996, 1998,2001, 2002), adalah karya Weber tentang rasionalitas. Yang menjadi fokus McDonaldisasi adalah fakta bahwa restoran cepat saji mempresentasikan paradigma rasionalitas formal kontemporer. Artinya, jika kita dapat mengatakan bahwa pada masa Weber model sistem rasional adalah birokrasi, maka kini restoran cepat saji mempresentasikan paradigma yang lebih baik dari tipe rasionalitas ini. Birokrasi masih bersama kita, namun restoran cepat saji menjadi contoh yang lebih baik dari jenis rasionalitas ini.
Setiap dimensi McDonaldisasi berlaku juga pada kartu kredit. Seluruh proses diperolehnya pinjaman menjadi efisien. Alih-alih proses aplikasi yang lama dan bertele-tele, ini
hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan sederhana. Dan jika itu tidak cukup efesien, orang ditawari kartu yang disetujui sebelumnya. Prediktabilitas paling baik dicontohkan oleh fakta bahwa kartu kredit menjadikan konsumsi lebih dapat diperkirakan; orang bahkan dapat mengonsumsi tanpa membawa uang tunai dalam saku. Yang dipentingkan oleh sebagian besar orang adalah kartu kredit yang dapat mereka peroleh dan batas kartu kredit kolektif di kartu-kartu tersebut, tanpa banyak mempertimbangkan efek buruk berupa basarnya jumlah utang pada kualitas hidup mereka.
B. Pandangan terhadap manusia
Ada empat rasionalitas formal-efisiensi, prediktabilitas, dan penekanan pada kuantitas ketimbang kualitas dan digantikan teknologi manusia oleh teknologi nonmanusia-dan bentuk rasionalitas ini cenderung membawa serta irasionalitas rasionalitas. Efisiensi seperti pencarian sarana terbaik untuk mencapai tujuan; di restoran sepat saji, jendela drive-through adalah contoh yang baik bagi peningkatan efisiensi dalam mendapatkan makanan. Jika semua dapat diperkirakan, maka yang tercipta adalah dunia tanpa kejutan; Bic Mac yang ada di Los Angeles tidak bisa dibedakan dengan Bic Mac yang ada di New York, dan begitu pula barang yang kita konsumsi besok atau tahun depan, senua itu tidak akan berbeda dengan yang konsumsi hari ini. Bic Mac contoh yang baik dari penekanan kuantitas daripada kualitas. Alih-alih kualitas seorang Chef, restoran cepat saji mengandalkan pada teknologi seperti juru masak yang tidak ahli dan mengikuti arahan terperinci dan metode ban berjalan dalam memasak dan menyajikannya. Akhinya sistem rasionalitas formal membawa serta berbagai irasionalitas, khususnya demistifikasi dan dehumanisasi pengalaman menikmati hidangan.
Jadi restoran cepat saji menjadi puncak rasionalitas pada umumnya, maupun pada dimensi spesifiknya. Terlebih lagi, bisnis dan sektor-sektor lain di dunia sosial meniru beberapa atau semua inovasi yang diciptakan oleh restoran cepat saji.
Sebagaimana di analisis oleh George Ritzer karakter tokoh SpongeBob dalam film kartun SpongeBob SquarePants.Namun siapa sangka, di balik keluguan dan tingkah laku kocak karakter utama kartun tersebut—SpongeBob—yang kerap mengundang gelak tawa, tersimpan muatan filosofis di dalamnya, terutama perihal “degradasi cara makan”. Istilah tersebut (degradasi cara makan) untuk pertama kali diperkenalkan George Ritzer dalam The Globalization of Nothing. Secara ekplisit, Ritzer menggunakan istilah tersebut guna mengkritik fenomena konsumerisme masyarakat modern terhadap “makanan cepat saji”. Menurutnya, cara-cara penyajian yang dilakukan rumah makan cepat saji terhadap para pelanggannya tak berbeda halnya dengan cara peternak memberi makan hewan-hewan ternaknya. Hal tersebut dikarenakan dominannya prosedur teknis dalam proses penyajian makanan, segala sesuatu telah ditakar secara pasti; racikan bumbu, lama penggorengan hingga bentuk penyajian dari makanan. Seakan, segala sesuatu yang berkenaan dengannya hanyalah prosedur teknis semata, tak ada yang lain.
Terkait hal di atas, SpongeBob dengan cara memasaknya yang “khas” di Krusty Krab tampak berupaya meminimalisir potensi-potensi degradasi cara makan pada pelanggannya. Sebagaimana kita ketahui, banyak dari scene kartun tersebut yang menunjukkan betapa SpongeBob memasak dengan “hati” (baca: perasaan). Ia menyadari sepenuhnya filosofi dari
“memasak”, bahwa apa yang dibuatnya adalah untuk manusia, dan melalui apa yang disajikannya terbersit pula harapan darinya untuk membahagiakan orang lain (baca: pelanggan)—tak sekedar menempatkan mereka dalam kalkulasi untung-rugi, atau objek yang dapat dieksploitasi sekenanya. Dengan demikian, dapatlah ditilik di sini bahwa aspek “perasaan” lebih bermain ketimbang aspek “teknis-prosedural”. Hal tersebutlah yang kiranya dapat menempatkan serial SpongeBob SquarePants sebagai salah satu bentuk kritik terhadap degradasi cara makan di era modern.
Era modern sebagaimana yang ditulis oleh Ahya Anwar dalam bukunya menidurkan cinta
Kehidupan modern telah melahirkan simulakrum fantasi, bahkan lebih fantasi dari yang dibayangkan oleh akal sehat sehingga banyak manusia modern yang hidup dalam kepanikan massal!
Kita telah sampai pada sebuah realiras semu, kehidupan modern telah menyuntikkan makna-makna yang seolah-olah ada pada kehidupan nyata, yang sebenarnya hanya sebua fantasi!. Sebuah realitas semu!
Banyak manusia telah menjauhkan dari kehidupannya dari makna-makna luhur sesungguhnya! Manusia modern telah menciptakan sebuah peradaban yang maju tetapi sekaligus menciptkan sebuah penyakit aneh yang membuatnya cemas akan dirinya sendiri!
Manusia modern telah memanipulasi insting-insting primitif!
Kini, kapitalisme telah menjadi universal parent yang terus-menerus membiarkan hedonisme menjadi nilai yang terus menerus dikejar oleh manusia modern.
Lihatlah dan rasakanlah!
Bertapa manusia modern telah berada dalam era “akhir rahasia”!
Lenyapnya aura sebatang tubuh dalam wacana kehidupan manusia!
Tidak ada lagi rasa saling ingin tahu, rasa saling ingin mengasihi, rasa saling menghayati!
Realitas telah kehilangan nilai luhur dan lebih jauh lagi telah kehilangan rahasianya!
Semua telah menjadi “KOMODITAS”!
Manusia telah berubah menjadi bukan dirinya!
Slogan modernitas yang ingin membebaskan manusia dari penjara takhayul dan kesesatan logika, justru telah mencabut manusia dari pusat gravitasi kemanusiaannya.
Yang pada akhirnya membuat manusia hidup dalam utopia dan fantasi dunia modern!
Maka cinta telah tereduksi dari dunia sosial. Tidak ada tempat bagi cinta dalam dunia sosial, sebab dalam dunia sosial, harga individu tergantung seberapa besar ia dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan orang lain.
Sementara cinta tidak perna dapat menerima kelicikan dan kepicikan.
Dalam masyarakat modern, hubungan cinta hanya sebuah gejala yang relatif yang bersifat sampingan. Hubungan cinta dalam dunia modern disingkirkan oleh nilai-nilai moralitas kehidupan publik yang menjadi arus utamanya.
Manusia modern membicarakan jati dirinya sebagai mahluk kontemporer, tetapi tidak memiliki satupun sumber nilai yang dibutuhkan untuk menegakan sebuah jati diri!
Sejauh mereka mencari nilai yang disebutnya cinta, maka harga yang pantas untuk mencarian itu adalah FRUSTASI!
Nihilistis!
Cinta dan manusia modern adalah sebuah gesekan dan tegangan!
Cinta dipahami sebagai sebuah hubungan negosiasi!
Padahal cinta adalah sebuah hubungan yang saling melarutkan.
Manusia modern terikat dengan sistem produksi yang pada akhirnya membuat mereka terisolasi secara kolektif dan bahkan secara tidak sadar saling mengisolasi antara satu dengan yang lainnya. Mereka saling mengasingkan melalui profesi, tempat tinggal, hobbi, bahkan cara berpakaian dan cara mereka makan.
Mereka kehilangan waktu untuk saling melebur diri dalam keakraban yang tulus!
Sekali lagi mereka tidak punya ketulusan!
Maka wajarlah bila manusia-manusia modern itu menemukan kesepian yang penuh kekosongan dan jiwa mereka.
Jiw mereka penuh rongga-rongga yang melompong!
Semakin mereka menemukan dan membangun kemegahan, semakin mereka menganyam kesedihan dalam batin-batin mereka.
Mereka hidup dengan kerakusan yang bercampur dengan kecemasan!
Manusia modern hidup dalam peralatan teknis yang serba lengkap dan mewah, hidup mereka seakan melaju dalam sebuah bus yang menyenangkan dan membius, mereka terbawa oleh mekanisme gerak motor, tanpa kesadaran bahwa bus telah berjalan menuju jurang kebinasaan.
Mereka harus belajar kembali, tentang cinta!
Tapi cinta tidak perna punya guru!
C. Pandangan Terhadap Masyarakat
“Aku” tak perna mengenal “aku” yang lain, kecuali hanya karena fungsi-fungsinya “padaku”, yang tidak berfungsi untukku tak “aku” kena (Jean Pieget)
Globalisasi diartikan sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal. Masyarakat di seluruh dunia menjadi saling tergantung disemua aspek kehidupan, politik, ekonomi, dan budaya. Jika diperhatikan secara seksama, banyak pihak yang optimis bahwa globalisasi akan membawa dampak yang baik: membawa seluruh dunia untuk bersama-sama melahirkan satu lembaga bagi seluruh dunia. Mereka yakin pada saatnya aka nada gejala di mana batasan kultural antar Negara di berbagai kawasan dunia akan melebur menjadi kultur baru yang mendunia. Adapun kultur bangsa sebelumnya masing melekat pada pada masing-masing bangsa menggunakan kultur ini menjadi hilang pada saat globalisasi bergulir karena ditelan oleh unsur-unsur kebudayaan baru yang bersifat mendunia tersebut. Pandangan inilah yang pada akhirnya menelurkan keyakinan akan terciptanya seuatu bersifat homogen, yaitu kebudayaan dunia.
Dengan demikian, globalisasi ini memandang akan adanya sebuah imperium kultur global. Sehingga homogennya masyarakat batas-batas budaya manusia, maka keadaan ini akan
membawa kebaikan bagi struktur masyarakat dunia itu sendiri. Kebaikan itu di antaranya adalah akan terciptanya perdamaian dunia sebagai akibat homogenitas cultural tersebut.
Dengan demikian, globalisasi istilah yang berhubungan dengan peningkatan keterkaitan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya popular, jaringan komunikasi, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain. Dan dampak dari globalisasi yang cukup menonjol adalah kawasan antar kultur bangsa “seolah-olah melebur menjadi kultur dunia (global)”.
Kemudian seorang ahli lain, Martin Albow (dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011:691) mengatakan tentanng globalisasi sebagai keseluruhan proses dimana penduduk dunia terkorporasi (tergabung) kedalam masyarakat dunia yang tunggal yang disebut masyarakkat global. Sementara dalam buku yang sama Rosabeth Moss Kanter, menganalogikan globalisasi sebagai pusat pembelajaran global dalamm gagasan dan produksinya tersedia disetiap tempat pada saat yang sama.
Kelompok ketiga justru tidak memercayai akan adanya perubahanyang sangat spetakuler ini. Menurut mereka globalisasi adalah sebuah mitos belaka, sebab gejala kapitalisme sebenarnya bukanlah barang baru, tetapi sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dengan demikian, apa yang disaksikan saat ini tidak lebih dari sebuah kelajutan dari gejala sosiokultural pada masa lampau. Pada awalnya, struktur sosial yang popular dalam mengatur kehiduapan manusia adalah struktur sosial yang feodal yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat kapitalis, yaitu semenjak revolusi industri bergulir di Eropa Barat pada beberapa abad silam.
Keadaan ini mengalami perubahan hingga saat ini, sehingga kapitalisme global yang menggejala dewasa ini merupakan gejala rangkaian pristiwa sebelumnya yang melalui proses secara pertahap atau evolusi.
Akan tetapi sebagian lain justru memandang globalisasi sebagai fenomena negatif. Pandangan ini berdasarkan kenyataan perubahan struktur dunia tidak membawa homogenitas pada budaya dunia, tetapi justru melahirkan dehuminasi Negara adikuasa yang berperan seolah-olah polisi dunia yang berhak menangkap dan menghakimi siapa saja yang tidak sejalan dengan idiologi liberalisme. Dengan demikian globalisasi tidak lebih dari upaya Negara industri Barat untuk menciptakan kapitalisme dunia yang diluncurkan sebagai efek global untuk menjaga stabilitas dominasinya atas Negara dunia ketiga.
Negara pun di dunia ini yang mampu mencukupi dirinya sendiri. Globalisasi adalah masalah kehidupan modern yang tidak terhindarkan. Globalisasi menimbulkan bahaya dan harapan. Proses globalisasi yang meliputi semua aspek kehidupan modern (ekonomi, budaya, dan politik) tercermin dalam kesadaran sosial. Cara orang memahami dunia, dunia lokal dan dunia keseluruhan, mengalami perubaahan yang sangat besar. Globalisasi di bidang politik dilihat dari adanya kesatuan supranasional dengan berbagai cakupan blok politik dan militer (NATO), koalisi kekuasaan kelompok dominan (kelompok G7), organisasi kesatuan regional (komunitas Eropa), organisasi berskala internasional (PBB).
Ritzer (1999) akhir-akhir ini berbicara tentang kelahiran “sarana konsumsi baru” di Amerika Serikat selama kurun waktu lebih dari setengah abad sejak perang dunia II. McDonald‟
s (lebih umumnya industri makanan cepat saji) adalah salah satu sarana konsumsi baru, namun ada sarana yang lain seperti pusat pembelajaran, mega mall (misalnya, Mall of Amerika), cyber mall,supertore (misalnya, Toys “R” Us), discounter (WallMark), kapal pesiar, hotel-kasino, Las Vegas, taman bertipe Disney, dan lain sebagainya.
Sebagaimana pandangan terkait rasionalitas diatas (dalam Ritze, 2008: 617), mengatakan tentang kartu kredit, seperti halnya restoran cepat saji, bisa dilihat sebagai bagian dari masyarakat kita ter- McDonaldisasi, secara formal dirasionalkan, dan dengan demikian pada hakekatnya modern. Kedua contoh pada bagian ini-restoran sepat saji dan kartu kredit.
D. Bagaimana Mengindikasikan dalam Realitas Sehari-hari
“Kita tidak akan perna mampu menjadi penguasa sejarah kita
sendiri, tetapi kita dapat dan harus mencari cara untuk membuata
dunia yang tak terkendali ini menjadi terkendali (Antony Giddens)”
a. Masa Depan yang Dialogis
Salah satu lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan ini adalah disebabkan, didalam melihat berbagai persoalan masyarakat, manusia tidak perna dipahami berdasarkan perspektif ilmu kemanusiaan itu sendiri, khususnya dalam era globalisasi yang katanya terjadi pemerataan ekonomi global, tapi menurut penulis yang terjadi adalah penjarahan global atas negara-negara dunia ketiga oleh negara Eropa Barat. Komunikasi yang terjadi bukanlah komunikasi yang mengedepankan dialog, namun komunikasi antara antara penjajah dengan jajahannya yang kemudian yang lahir dari komunikasi ini adalah penindasan atas nama pasar bebas dan globalisasi.
Mikhail Bakhtin, (dalam, Yasraf Amir Piliang. 2001:314) didalam beberapa karyanya, menaruh perhatian pada kekhasan ilmu kemanusiaan, yang melihat manusia dengan berbagai karakternya yang beranekaragam. Manusia bukanlah benda mati yang tidak berjiwa dan berekspresi. Manusia selalu mengekspresikan dirinya, selalu menciptkan teks-teks. Setiap bentuk ekspresi, setiap teks mengandung didalamnya pemikiran, makna, penandaan. Oleh sebab itu, perlakuam terhadap manusia jelas tidak bisa disamakan dengan perlakuan terhadap benda.
Mikhail Bakhtin menempatkan paradigma dialogis sebagai akar dari setiap pemahaman. Intinya adalah bagaimana kita memahami “sang lain sebagai sahabat”. Mikhail Bakhtin lalu menawarkan sebuah pandangan dialogisme, yang didalamnya “sang lain” memainkan peranan yang sentral dalam membentuk “sang diri”. Tanpa sang lain, sang diri tidak hanya tampak oleh kita, akan tetapi juga tidak dapat dimengerti, dan tidak dapat diajak kerja sama. Kita menemukan “sang diri” melalui proses interaksi sosial, dialog dan perbincangan dengan “sang lain”didalam dunia sosial kita (dunia individu, suku, bangsa, agama, dan budaya).
Pendekatan dialogis ini sangat penting didalam kebudayaan yang semakin meng-global yang selalu diwarnai konflik, permusuhan, bentrokan, kerusuhan, dan kekerasan. Berbagai bentuk kekerasan tersebut muncul, disebabkan yang dikembangkan di dalam masyarakat kita bukanlah mutual understanding, akan tetapi mutual misunderstanding.
Pertanyaan penting dalam dialogisme adalah bagaimana di mungkinkan melakukan “pertemuan dialogis” dalam menghasilkan teks-teks budaya baru: pertemuan dua pihak (suku, agama, ras, daerah) yang berbeda situasinya,yang tidak seorangpun di antara mereka menduduki posisi dominan. Meskipun perbedaan (difference) dikontruksi secara sosial, yang merupakan sebuah tantangan masa depan adalah : bagaimana menghasilkan “perbedaan-perbedaan” yang tidak diatur secara hierarkis, Ekspresi budaya dalam menghasilkan teks-teks akan tetapi, ekspresi yang di bangun berdasarkan prinsip diologis antar budaya akan dapat menghasilakan apa yang di katakan oleh julia kristeva di dalam Revolution in poetic language,sebagai intertekstualitas (intertextuality) – sebuah jaringan teks-teks yang plural yang satu sama lain berinteraksi secara dinamis dalam sebuah ajang dialog.
b. Masyarakat Aktif
Masyarakat aktif menurut Etizioni (dalam Margaret M. Poloma. 2008:354-355) adalah masyarakat yang menguasai dunia sosial mereka. Dia sangat berbeda dengan masyarakat pasif di mana para anggotanya di kendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar atau kekuatan aktif lainnya. Menurut Etzioni dalam masyarakat aktif orang dapat mengubah hukum-hukum sosial. Di dunia yang demikian manusia adalah pencipta, dapat membentuk masyarakat untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhannya. Orientsinya aktif memiliki tiga komponen: kesadaran pribadi, pengetahuan para aktor dan komitmen pada satu atau lebih tujuan yang harus di capai serta fasilitas kekuasaan untuk mengubah tatanan sosial (Etsionis, 1968:4) akan tetapi kegiatan yang demikian bukan tanpa berbagai kendala, sebab setiap aksi melahirkan kontradiksi. Oleh sebab itu manusia aktif bukan mereka yang semata-mata melakukan segala keinginannya. Untuk bertindak (tepat) manusia yang demikian harus mencari pengetahuan atau informasi. Dia harus bersedia menunda ganjaran (imbalan) pribadi sehubungan dengan realisasi tujuan tujuan-tujuan kemasyarakatan yang lebih sempurna.
Pada dasarnya, globalisasi lebih banyak diawali dengan proses hubungan perdagangan antar bangsa. Banyak bangsa di berbagai kawasan dunia yang tidak menampik kekurangan yang ada dalam negaranya. Dan untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya, Negara ini perlu menjalin hubungan perdagangan antarbangsa.
Akan tetapi, eksploitasi perdangan menjadi berubah setelah bergulirnya revolusi industri di Eropa seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, melakukan eksplorasi besar-besaran di berbagai kawasan yang selanjutnya ekksplorasi ini berubah menjadi nafsu untuk menjajah Negara tereksplorasi ini. Dengan demikian, antara kapitalisme masa lalu dan kapitalisme global sebenarnya hakekatnya adalah sama, yang membedakan yaitu metode untuk eksploitasi. Mansour Fakih (dalam M. Agus Nuryanto. 2011:65-66), melacak akar geneologi istilah globalisasi dan neoliberalisme. Menurutnya, kedua idiologi dominan ini merupakan bagian dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain. Sejarah dominasi dan eksploitasi ini dibagi tiga fase.
Fase pertama adalah masa kolonialisme yang ditandai dengan ekspansi secara fisik kapitalisme di Eropa untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Fase kolonialisme merupakan fase dimana dominasi atas manusia lain melalui bentuk penjajahan secara langsung dan terjadi selama ratusan tahun. Ini adalah masa kelam dalam sejarah umat manusia. Masa penjajahan secara fisik dalam sejarah berakhir pasca Perang Dunia II, meskipun sebenarnya banyak negara di Afrika baru mereka tahun 1970-an.
Fase kedua,kolonialisme tidak lagi secara fisik dan langsung, tetapi melalui penjajahan teori dan metodologi, atau apa yang disebut pembangunan atau developmentalisme. Meskipun negara-negara penjajah tidak lagi mencengkeram secara fisik negara-negara bekas koloninya, namun mereka secara suptantif masih mengontrol negara-negara tersebut melalui teori dan proses dan perubahan sosial mereka. Ternyata teori pembangunan tidak berhasil, karena teori ini memang dikonstruksi dan diproyeksikan sebagai paradigma dominan untuk perubahan sosial. Fase kedua ini disebut dengan fase neokolonialisme, sebab dominasi tidak lagi dilakukan secara kasat mata dan telanjang tapi secara terselubung yang tidak jarang membuat tidak sadar bahwa mereka didominasi. Ketidaksadaran atas dominasi ini dalam bahasa Gramsci disebut dengan hegemoni.
Fase ketiga,ditandai dengan liberalisasi disegala bidang diinisiasi oleh lembaga finasial global dan disepakati oleh rezim GATT dan WTO. Ini adalah era dominasi baru dengan wajah globalisasi. Globalisasi merupakan media yang paling efektif saat ini untuk menyebarkan agenda-agenda neoliberalisme yang mengintegrasikan ekonomi nasional ke dalam ekonomi global dengan basis utama pasar bebas.
Mansour Fakih (2009:187) mengatakan istilah globalisasi sesungguhnya secara sederhana dipahami sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global.
1. Globaliztion of Nothing
Selain karyanya tentang McDonaldisasi dan eksportasi global dari alat-alat komsumsi baru, Ritzer (2004:694) menyatakan bahwa kita menyaksikan globalisasi “nothing” (globalization of nothing). Perhatikan dia tidak mengatakan bahwa globalisasi bukan sesuatu (globalization of nothing, sesungguhnya, jelas bahwa proses itu sangat signifikan. Argumen sesungguhnya adalah, dengan menggunakan istilah yang dipinjam dari Weber, bahwa ada elctive affinity antara globalisasi dan “bukan sesuatu” (nothing). Yakni, sesuatu bukan akibat dari sesuatu yang lain, tetapi cenderung bervariasi bersama-sama. Jadi, globalisasi menyebarkan nothing keseluruh dunia. Tentu saja yang penting dari sini adalah makna nothing.
Yang dimaksud nothing oleh Ritzer (secara umum) adalah bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara sentral (sebagian besar) kosong dari isi yang distingsif (sebaliknya sesuatu) didefinisikan sebagai bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara indigenous (yang sebagian besar) kaya dalam isi distingtif.
Ada lima subtipe nothing, dan semuanya sebagian besar kosong dari isi distingtif dan sedang mengglobal. Keempat subtipe itu adalah non-places (Auge, 1995), atau seting yang sebagian besar kosong dari isi (misalnya, mall yang didiskusikan di atas); non-things, seperti kartu kredit, di mana tak banyak berbeda dari satu kartu kredit seseorang dengan jutaan kartu kredit orang lain dengan cara penggunaannya persis sama, non-people, atau jenis karyawan yang diasosiassikan dengan, misalnya, telemarketer dan berinteraksi dengan semua konsumen dengan cara yang hampir sama, mengandalkan pada scripts; non-services, seperti yang disediakan ATM (pelayanan yang disediakan sama; konsumen mengerjakan semuannya untuk mendapatkan pelayanan) yang berbeda dengan seorang pelayan teller bank.
Ada lima hal yang dipakai untuk membedakan nothing dengan something, dan lebih khusus lagi, untuk membedakan non-places-places, things-non-things, people-non-people, dan services-non services.kutub sebelah kiri dari perbedaan berikut adalah ujung dari kontinum “sesuatu” (something) sedangkan yang sebelah kanan adalah ujung “bukan sesuatu” (nothing).
1. Unique –generic. Yang unik cenderung menjadi something. Misalnya (1989) telah menulis apa yang dia namakan “great good places” seperti kedai dan kafe lokal. Personil, makanan, pelanggan, dan suasananya berada pada ujung unique dari kontinum ini. Gerai rantai fast-foot jelas merupakan contoh dari ujung generic.
2. Lokal-ties-lack of lokal ties. Ikatan kepada komunitas lokal cenderung diasosiasikan dengan something, sedangkan kurangnya ikatan semacam itu cenderung diasosiasikan dengan nothing. Misalnya, departement store GUM yang terkenal (mall indoor atau arcade ketinggalan jaman [ Benjamin, 1999], sampai ambruknya komunisme di uni soviet, penuh dengan barang dan toko lokal ; ia mempunyai ikatan lokal yang mendalam. Sekarang GUM merupakan jaringan toko internasional tanpa ikatan lokal dan komposisinya sama seperti mall-mall lain diseluruh dunia.
3. Temporally specific-time less, seperti halnya yang terikat dengan ruang, hal-hal yang terikat dengan periode waktu tertentu cenderung menjadi something, sedangkan yang terikat dengan waktu tertentu cenderung menjadi nothing. Colonial Wiliamsburg terikat dengan periode waktu tertentu dan karena itu adalah something meski dalam
kenyataannya ia pada dasarnya adalah tempat hiburan bertema (thema park). Sebaliknya, disney Word adalah self –consciously time-less karena ia mencoba merepresentasikan berbagai perbedaan waktu (riil dan imajiner) atau bahkan tanpa periode waktu sama sekali.
4. Humanized-Dehumanized. Hal yang banyak memuat hubungan antarmanusia cenderung menjadi something, sedangkan yang kurang hubungan manusia itu (dehumanized) cenderung menjadi nothing. Jadi, peminjaman personal yang dinegosiasikan antara pihak bank dan konsumennya, dan pinjaman kartu kredit yang sepenuhnya impersonal yang disetujui oleh program komputer, masing-masing merupakan contoh yang sangat bagus dari dua ekstrem dari kontinum ini.
5. Enchanted- disenchanted. Kontinum akhir ini cenderung mengumpulkan semua yang sudah ada. Yang merupakan something cenderung mempunyai kualitas magis dan memikat, sedangkan yang nothing lebih mungkin bersifat tak memikat, kurang misterius atau magis. Jadi, makanan yang diberikan kepada kita dari domino dan dalam paket yang dapat dimasak dalam microwave untuk makan malam tampaknya kecil kemungkinannya untuk membuat kita terpesona dengan makanan itu. Di lain pihak, makanan yang dibuat sendiri oleh ahlinya mungkin akan lebih menarik. Melihat bagaimana berbagai campuran bumbu dan makanan diubah menjadi hidangan tampaknya bersifat magis. Novel dan film like water for chocolate memberikan contoh yang baik dari daya tarik yang diasosiasikan dengan penyiapan makanan dan konsumsi makanan buatan tangan yang memikat.(film.Chocolate itu juga menampilkan permen buatan tangan yang juga mengandung kualitas yang memikat).
Jadi, argumen dasarnya adalah bahwa globalisasi membawa penyebaran nothingness keseluruh dunia. Secara lebih spesifik, kita menyaksikan proliferasi global menuju nothing, yang dicirikan oleh konsepsi dan kontrol terpusat, kurangnya isi yang distingtif, generik, kurangnya ikatan lokal, time-less,the humanisasi, dan kekecawaan (disentchantment). Tentu saja, hal-hal yang cenderung menjadi something juga diglobalkan (globalized), tetapi pada tingkat yang lebih rendah dan dampaknya tidak begitu besar pada dunia. Lebih jauh, sementara barang-barang yang mahal bisa menjadi nothing (satu juta tas guci dalam pengertian ini tak banyak bedanya dengan satu juta Big Mac), yang murah jauh lebih mungkin menjadi nothing, atau dijadikan murah (karena ekonomi skala) dan dijadikan nothing setelah ditransformasi menjadi komoditas yang diproduksi jutaan atau miliaran kali dan dijual di seluruh dunia. Jadi, meski internet dan berbagai bentuk sarana telekomunikasi memungkinkannya untuk menjual karya-karya seni besar ke seluruh dunia, namun dalam dampak dari penjualan karya seni besar itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan distribusi global karya seni Disney.
Teori mengenai globalisasi menurut George Ritzer, muncul sebagai hasil dari rentetan perkembangan internal atas teori sosial melawan perspektif yang telah ada sebelumnya yaitu teori modernisasi. Karakteristik dari teori ini adalah orientasinya yang menyebarluaskan fokus utama dari dunia Barat. Definisi dari globalisasi sendiri adalah difusi dari seluruh praktek di
seluruh dunia, pelebaran hubungan antar benua, organisasi, kehidupan sosial pada skala global, dan tumbuhnya kesadaran global. Globalisasi sendiri terjadi dalam beberapa dimensi utama yaitu : politik/institusi, ekonomi, budaya. Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama(homogenitas), atau proses dimana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang mengarah ke pencangkokan kultur (heterogenitas). Pada level ekonomi, globalisasi dapat dilihat sebagai penyebaran ekonomi pasar keseluruh kawasan dunia yang berbeda (heterogenitas). Namun pada pandangan lain, globalisasi ekonomi juga dapat menyebabkan komodifikasi kultur lokal dan ekspansi spesialisasi yang fleksibel yang bisa mengaitkan berbagai produk dengan kebutuhan dari beragam spesifikasi lokal (heterogenitas). Sedangkan pada globalisasi politik/institusi dapat berupa penyebaran model nation-state diseluruh dunia. Tumbuhnya model tata pemerinthan ini diseluruh dunia kurang lebih serupa bentuknya. Dan pada tingkat institusi, dapat dilihat melalui pertumbuhan institusi dan organisasi transnasional banyak menghilangkan kekuasan negara-bangsa dan struktur sosial-lokal lainnya untuk membuat perbedaan dalam kehidupan individu. Salah satu pandangan yang paling ekstrem tentang homogenisasi dalam dunia politik adalah pemikiran Barber tentang „McWorld‟, atau berkembangnya orientasi politik tunggal yang semakin pervasif diseluruh dunia (Rizer & Goodman, 2007).
Dalam perspektif Marxian, kekuatan utama dari globalisasi adalah pada meningkatnya keuntungan dari perusahaan multinasional melalui imperialisme ekonomi yang semakin jauh. Selain itu kekuatan dari globalisasi juga terletak pada adanya hegemoni kebudayaan di seluruh dunia yang mendukung perusahaan multinasional dan negara Barat. Sedangkan dalam perspektif Weberian menganalisis bahwa peningkatan ketersediaan struktur-struktur terasionalisasi disemua tempat dan kontrol atas manusia diseluruh dunia dalam konteks konsumsi. Struktur yang terasionalisasi memiliki kecenderungan untuk mereplika diri mereka diseluruh dunia dan membuat negara-negaranya yang tidak memiliki struktur tersebut ingin memilkinya (George Ritzer).
Drucker (dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011:691) mengatakan tentang globalisasi adalah sebuah rentetan sistem yang menyeluruh untuk berbagai proses yang berada di jantung ekonomi global; penyebaran ekonomi global secara instan, pertumbuhan dan perdagangan internasional yang cepat, pasar uang global (pasar perusahaan global).
2. McDonaldisasi
Secara teoritis pendorong utama dalam The McDonaldisasi of Society (1993, 1996, 1998,2001, 2002), adalah karya Weber tentang rasionalitas. Yang menjadi fokus McDonaldisasi adalah fakta bahwa restoran cepat saji mempresentasikan paradigma rasionalitas formal kontemporer. Artinya, jika kita dapat mengatakan bahwa pada masa Weber model sistem rasional adalah birokrasi, maka kini restoran cepat saji mempresentasikan paradigma yang lebih baik dari tipe rasionalitas ini. Birokrasi masih bersama kita, namun restoran cepat saji menjadi contoh yang lebih baik dari jenis rasionalitas ini.
Setiap dimensi McDonaldisasi berlaku juga pada kartu kredit. Seluruh proses diperolehnya pinjaman menjadi efisien. Alih-alih proses aplikasi yang lama dan bertele-tele, ini
hanya perlu menjawab beberapa pertanyaan sederhana. Dan jika itu tidak cukup efesien, orang ditawari kartu yang disetujui sebelumnya. Prediktabilitas paling baik dicontohkan oleh fakta bahwa kartu kredit menjadikan konsumsi lebih dapat diperkirakan; orang bahkan dapat mengonsumsi tanpa membawa uang tunai dalam saku. Yang dipentingkan oleh sebagian besar orang adalah kartu kredit yang dapat mereka peroleh dan batas kartu kredit kolektif di kartu-kartu tersebut, tanpa banyak mempertimbangkan efek buruk berupa basarnya jumlah utang pada kualitas hidup mereka.
B. Pandangan terhadap manusia
Ada empat rasionalitas formal-efisiensi, prediktabilitas, dan penekanan pada kuantitas ketimbang kualitas dan digantikan teknologi manusia oleh teknologi nonmanusia-dan bentuk rasionalitas ini cenderung membawa serta irasionalitas rasionalitas. Efisiensi seperti pencarian sarana terbaik untuk mencapai tujuan; di restoran sepat saji, jendela drive-through adalah contoh yang baik bagi peningkatan efisiensi dalam mendapatkan makanan. Jika semua dapat diperkirakan, maka yang tercipta adalah dunia tanpa kejutan; Bic Mac yang ada di Los Angeles tidak bisa dibedakan dengan Bic Mac yang ada di New York, dan begitu pula barang yang kita konsumsi besok atau tahun depan, senua itu tidak akan berbeda dengan yang konsumsi hari ini. Bic Mac contoh yang baik dari penekanan kuantitas daripada kualitas. Alih-alih kualitas seorang Chef, restoran cepat saji mengandalkan pada teknologi seperti juru masak yang tidak ahli dan mengikuti arahan terperinci dan metode ban berjalan dalam memasak dan menyajikannya. Akhinya sistem rasionalitas formal membawa serta berbagai irasionalitas, khususnya demistifikasi dan dehumanisasi pengalaman menikmati hidangan.
Jadi restoran cepat saji menjadi puncak rasionalitas pada umumnya, maupun pada dimensi spesifiknya. Terlebih lagi, bisnis dan sektor-sektor lain di dunia sosial meniru beberapa atau semua inovasi yang diciptakan oleh restoran cepat saji.
Sebagaimana di analisis oleh George Ritzer karakter tokoh SpongeBob dalam film kartun SpongeBob SquarePants.Namun siapa sangka, di balik keluguan dan tingkah laku kocak karakter utama kartun tersebut—SpongeBob—yang kerap mengundang gelak tawa, tersimpan muatan filosofis di dalamnya, terutama perihal “degradasi cara makan”. Istilah tersebut (degradasi cara makan) untuk pertama kali diperkenalkan George Ritzer dalam The Globalization of Nothing. Secara ekplisit, Ritzer menggunakan istilah tersebut guna mengkritik fenomena konsumerisme masyarakat modern terhadap “makanan cepat saji”. Menurutnya, cara-cara penyajian yang dilakukan rumah makan cepat saji terhadap para pelanggannya tak berbeda halnya dengan cara peternak memberi makan hewan-hewan ternaknya. Hal tersebut dikarenakan dominannya prosedur teknis dalam proses penyajian makanan, segala sesuatu telah ditakar secara pasti; racikan bumbu, lama penggorengan hingga bentuk penyajian dari makanan. Seakan, segala sesuatu yang berkenaan dengannya hanyalah prosedur teknis semata, tak ada yang lain.
Terkait hal di atas, SpongeBob dengan cara memasaknya yang “khas” di Krusty Krab tampak berupaya meminimalisir potensi-potensi degradasi cara makan pada pelanggannya. Sebagaimana kita ketahui, banyak dari scene kartun tersebut yang menunjukkan betapa SpongeBob memasak dengan “hati” (baca: perasaan). Ia menyadari sepenuhnya filosofi dari
“memasak”, bahwa apa yang dibuatnya adalah untuk manusia, dan melalui apa yang disajikannya terbersit pula harapan darinya untuk membahagiakan orang lain (baca: pelanggan)—tak sekedar menempatkan mereka dalam kalkulasi untung-rugi, atau objek yang dapat dieksploitasi sekenanya. Dengan demikian, dapatlah ditilik di sini bahwa aspek “perasaan” lebih bermain ketimbang aspek “teknis-prosedural”. Hal tersebutlah yang kiranya dapat menempatkan serial SpongeBob SquarePants sebagai salah satu bentuk kritik terhadap degradasi cara makan di era modern.
Era modern sebagaimana yang ditulis oleh Ahya Anwar dalam bukunya menidurkan cinta
Kehidupan modern telah melahirkan simulakrum fantasi, bahkan lebih fantasi dari yang dibayangkan oleh akal sehat sehingga banyak manusia modern yang hidup dalam kepanikan massal!
Kita telah sampai pada sebuah realiras semu, kehidupan modern telah menyuntikkan makna-makna yang seolah-olah ada pada kehidupan nyata, yang sebenarnya hanya sebua fantasi!. Sebuah realitas semu!
Banyak manusia telah menjauhkan dari kehidupannya dari makna-makna luhur sesungguhnya! Manusia modern telah menciptakan sebuah peradaban yang maju tetapi sekaligus menciptkan sebuah penyakit aneh yang membuatnya cemas akan dirinya sendiri!
Manusia modern telah memanipulasi insting-insting primitif!
Kini, kapitalisme telah menjadi universal parent yang terus-menerus membiarkan hedonisme menjadi nilai yang terus menerus dikejar oleh manusia modern.
Lihatlah dan rasakanlah!
Bertapa manusia modern telah berada dalam era “akhir rahasia”!
Lenyapnya aura sebatang tubuh dalam wacana kehidupan manusia!
Tidak ada lagi rasa saling ingin tahu, rasa saling ingin mengasihi, rasa saling menghayati!
Realitas telah kehilangan nilai luhur dan lebih jauh lagi telah kehilangan rahasianya!
Semua telah menjadi “KOMODITAS”!
Manusia telah berubah menjadi bukan dirinya!
Slogan modernitas yang ingin membebaskan manusia dari penjara takhayul dan kesesatan logika, justru telah mencabut manusia dari pusat gravitasi kemanusiaannya.
Yang pada akhirnya membuat manusia hidup dalam utopia dan fantasi dunia modern!
Maka cinta telah tereduksi dari dunia sosial. Tidak ada tempat bagi cinta dalam dunia sosial, sebab dalam dunia sosial, harga individu tergantung seberapa besar ia dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan orang lain.
Sementara cinta tidak perna dapat menerima kelicikan dan kepicikan.
Dalam masyarakat modern, hubungan cinta hanya sebuah gejala yang relatif yang bersifat sampingan. Hubungan cinta dalam dunia modern disingkirkan oleh nilai-nilai moralitas kehidupan publik yang menjadi arus utamanya.
Manusia modern membicarakan jati dirinya sebagai mahluk kontemporer, tetapi tidak memiliki satupun sumber nilai yang dibutuhkan untuk menegakan sebuah jati diri!
Sejauh mereka mencari nilai yang disebutnya cinta, maka harga yang pantas untuk mencarian itu adalah FRUSTASI!
Nihilistis!
Cinta dan manusia modern adalah sebuah gesekan dan tegangan!
Cinta dipahami sebagai sebuah hubungan negosiasi!
Padahal cinta adalah sebuah hubungan yang saling melarutkan.
Manusia modern terikat dengan sistem produksi yang pada akhirnya membuat mereka terisolasi secara kolektif dan bahkan secara tidak sadar saling mengisolasi antara satu dengan yang lainnya. Mereka saling mengasingkan melalui profesi, tempat tinggal, hobbi, bahkan cara berpakaian dan cara mereka makan.
Mereka kehilangan waktu untuk saling melebur diri dalam keakraban yang tulus!
Sekali lagi mereka tidak punya ketulusan!
Maka wajarlah bila manusia-manusia modern itu menemukan kesepian yang penuh kekosongan dan jiwa mereka.
Jiw mereka penuh rongga-rongga yang melompong!
Semakin mereka menemukan dan membangun kemegahan, semakin mereka menganyam kesedihan dalam batin-batin mereka.
Mereka hidup dengan kerakusan yang bercampur dengan kecemasan!
Manusia modern hidup dalam peralatan teknis yang serba lengkap dan mewah, hidup mereka seakan melaju dalam sebuah bus yang menyenangkan dan membius, mereka terbawa oleh mekanisme gerak motor, tanpa kesadaran bahwa bus telah berjalan menuju jurang kebinasaan.
Mereka harus belajar kembali, tentang cinta!
Tapi cinta tidak perna punya guru!
C. Pandangan Terhadap Masyarakat
“Aku” tak perna mengenal “aku” yang lain, kecuali hanya karena fungsi-fungsinya “padaku”, yang tidak berfungsi untukku tak “aku” kena (Jean Pieget)
Globalisasi diartikan sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal. Masyarakat di seluruh dunia menjadi saling tergantung disemua aspek kehidupan, politik, ekonomi, dan budaya. Jika diperhatikan secara seksama, banyak pihak yang optimis bahwa globalisasi akan membawa dampak yang baik: membawa seluruh dunia untuk bersama-sama melahirkan satu lembaga bagi seluruh dunia. Mereka yakin pada saatnya aka nada gejala di mana batasan kultural antar Negara di berbagai kawasan dunia akan melebur menjadi kultur baru yang mendunia. Adapun kultur bangsa sebelumnya masing melekat pada pada masing-masing bangsa menggunakan kultur ini menjadi hilang pada saat globalisasi bergulir karena ditelan oleh unsur-unsur kebudayaan baru yang bersifat mendunia tersebut. Pandangan inilah yang pada akhirnya menelurkan keyakinan akan terciptanya seuatu bersifat homogen, yaitu kebudayaan dunia.
Dengan demikian, globalisasi ini memandang akan adanya sebuah imperium kultur global. Sehingga homogennya masyarakat batas-batas budaya manusia, maka keadaan ini akan
membawa kebaikan bagi struktur masyarakat dunia itu sendiri. Kebaikan itu di antaranya adalah akan terciptanya perdamaian dunia sebagai akibat homogenitas cultural tersebut.
Dengan demikian, globalisasi istilah yang berhubungan dengan peningkatan keterkaitan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya popular, jaringan komunikasi, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain. Dan dampak dari globalisasi yang cukup menonjol adalah kawasan antar kultur bangsa “seolah-olah melebur menjadi kultur dunia (global)”.
Kemudian seorang ahli lain, Martin Albow (dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011:691) mengatakan tentanng globalisasi sebagai keseluruhan proses dimana penduduk dunia terkorporasi (tergabung) kedalam masyarakat dunia yang tunggal yang disebut masyarakkat global. Sementara dalam buku yang sama Rosabeth Moss Kanter, menganalogikan globalisasi sebagai pusat pembelajaran global dalamm gagasan dan produksinya tersedia disetiap tempat pada saat yang sama.
Kelompok ketiga justru tidak memercayai akan adanya perubahanyang sangat spetakuler ini. Menurut mereka globalisasi adalah sebuah mitos belaka, sebab gejala kapitalisme sebenarnya bukanlah barang baru, tetapi sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dengan demikian, apa yang disaksikan saat ini tidak lebih dari sebuah kelajutan dari gejala sosiokultural pada masa lampau. Pada awalnya, struktur sosial yang popular dalam mengatur kehiduapan manusia adalah struktur sosial yang feodal yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat kapitalis, yaitu semenjak revolusi industri bergulir di Eropa Barat pada beberapa abad silam.
Keadaan ini mengalami perubahan hingga saat ini, sehingga kapitalisme global yang menggejala dewasa ini merupakan gejala rangkaian pristiwa sebelumnya yang melalui proses secara pertahap atau evolusi.
Akan tetapi sebagian lain justru memandang globalisasi sebagai fenomena negatif. Pandangan ini berdasarkan kenyataan perubahan struktur dunia tidak membawa homogenitas pada budaya dunia, tetapi justru melahirkan dehuminasi Negara adikuasa yang berperan seolah-olah polisi dunia yang berhak menangkap dan menghakimi siapa saja yang tidak sejalan dengan idiologi liberalisme. Dengan demikian globalisasi tidak lebih dari upaya Negara industri Barat untuk menciptakan kapitalisme dunia yang diluncurkan sebagai efek global untuk menjaga stabilitas dominasinya atas Negara dunia ketiga.
Negara pun di dunia ini yang mampu mencukupi dirinya sendiri. Globalisasi adalah masalah kehidupan modern yang tidak terhindarkan. Globalisasi menimbulkan bahaya dan harapan. Proses globalisasi yang meliputi semua aspek kehidupan modern (ekonomi, budaya, dan politik) tercermin dalam kesadaran sosial. Cara orang memahami dunia, dunia lokal dan dunia keseluruhan, mengalami perubaahan yang sangat besar. Globalisasi di bidang politik dilihat dari adanya kesatuan supranasional dengan berbagai cakupan blok politik dan militer (NATO), koalisi kekuasaan kelompok dominan (kelompok G7), organisasi kesatuan regional (komunitas Eropa), organisasi berskala internasional (PBB).
Ritzer (1999) akhir-akhir ini berbicara tentang kelahiran “sarana konsumsi baru” di Amerika Serikat selama kurun waktu lebih dari setengah abad sejak perang dunia II. McDonald‟
s (lebih umumnya industri makanan cepat saji) adalah salah satu sarana konsumsi baru, namun ada sarana yang lain seperti pusat pembelajaran, mega mall (misalnya, Mall of Amerika), cyber mall,supertore (misalnya, Toys “R” Us), discounter (WallMark), kapal pesiar, hotel-kasino, Las Vegas, taman bertipe Disney, dan lain sebagainya.
Sebagaimana pandangan terkait rasionalitas diatas (dalam Ritze, 2008: 617), mengatakan tentang kartu kredit, seperti halnya restoran cepat saji, bisa dilihat sebagai bagian dari masyarakat kita ter- McDonaldisasi, secara formal dirasionalkan, dan dengan demikian pada hakekatnya modern. Kedua contoh pada bagian ini-restoran sepat saji dan kartu kredit.
D. Bagaimana Mengindikasikan dalam Realitas Sehari-hari
“Kita tidak akan perna mampu menjadi penguasa sejarah kita
sendiri, tetapi kita dapat dan harus mencari cara untuk membuata
dunia yang tak terkendali ini menjadi terkendali (Antony Giddens)”
a. Masa Depan yang Dialogis
Salah satu lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan ini adalah disebabkan, didalam melihat berbagai persoalan masyarakat, manusia tidak perna dipahami berdasarkan perspektif ilmu kemanusiaan itu sendiri, khususnya dalam era globalisasi yang katanya terjadi pemerataan ekonomi global, tapi menurut penulis yang terjadi adalah penjarahan global atas negara-negara dunia ketiga oleh negara Eropa Barat. Komunikasi yang terjadi bukanlah komunikasi yang mengedepankan dialog, namun komunikasi antara antara penjajah dengan jajahannya yang kemudian yang lahir dari komunikasi ini adalah penindasan atas nama pasar bebas dan globalisasi.
Mikhail Bakhtin, (dalam, Yasraf Amir Piliang. 2001:314) didalam beberapa karyanya, menaruh perhatian pada kekhasan ilmu kemanusiaan, yang melihat manusia dengan berbagai karakternya yang beranekaragam. Manusia bukanlah benda mati yang tidak berjiwa dan berekspresi. Manusia selalu mengekspresikan dirinya, selalu menciptkan teks-teks. Setiap bentuk ekspresi, setiap teks mengandung didalamnya pemikiran, makna, penandaan. Oleh sebab itu, perlakuam terhadap manusia jelas tidak bisa disamakan dengan perlakuan terhadap benda.
Mikhail Bakhtin menempatkan paradigma dialogis sebagai akar dari setiap pemahaman. Intinya adalah bagaimana kita memahami “sang lain sebagai sahabat”. Mikhail Bakhtin lalu menawarkan sebuah pandangan dialogisme, yang didalamnya “sang lain” memainkan peranan yang sentral dalam membentuk “sang diri”. Tanpa sang lain, sang diri tidak hanya tampak oleh kita, akan tetapi juga tidak dapat dimengerti, dan tidak dapat diajak kerja sama. Kita menemukan “sang diri” melalui proses interaksi sosial, dialog dan perbincangan dengan “sang lain”didalam dunia sosial kita (dunia individu, suku, bangsa, agama, dan budaya).
Pendekatan dialogis ini sangat penting didalam kebudayaan yang semakin meng-global yang selalu diwarnai konflik, permusuhan, bentrokan, kerusuhan, dan kekerasan. Berbagai bentuk kekerasan tersebut muncul, disebabkan yang dikembangkan di dalam masyarakat kita bukanlah mutual understanding, akan tetapi mutual misunderstanding.
Pertanyaan penting dalam dialogisme adalah bagaimana di mungkinkan melakukan “pertemuan dialogis” dalam menghasilkan teks-teks budaya baru: pertemuan dua pihak (suku, agama, ras, daerah) yang berbeda situasinya,yang tidak seorangpun di antara mereka menduduki posisi dominan. Meskipun perbedaan (difference) dikontruksi secara sosial, yang merupakan sebuah tantangan masa depan adalah : bagaimana menghasilkan “perbedaan-perbedaan” yang tidak diatur secara hierarkis, Ekspresi budaya dalam menghasilkan teks-teks akan tetapi, ekspresi yang di bangun berdasarkan prinsip diologis antar budaya akan dapat menghasilakan apa yang di katakan oleh julia kristeva di dalam Revolution in poetic language,sebagai intertekstualitas (intertextuality) – sebuah jaringan teks-teks yang plural yang satu sama lain berinteraksi secara dinamis dalam sebuah ajang dialog.
b. Masyarakat Aktif
Masyarakat aktif menurut Etizioni (dalam Margaret M. Poloma. 2008:354-355) adalah masyarakat yang menguasai dunia sosial mereka. Dia sangat berbeda dengan masyarakat pasif di mana para anggotanya di kendalikan oleh kekuatan-kekuatan luar atau kekuatan aktif lainnya. Menurut Etzioni dalam masyarakat aktif orang dapat mengubah hukum-hukum sosial. Di dunia yang demikian manusia adalah pencipta, dapat membentuk masyarakat untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhannya. Orientsinya aktif memiliki tiga komponen: kesadaran pribadi, pengetahuan para aktor dan komitmen pada satu atau lebih tujuan yang harus di capai serta fasilitas kekuasaan untuk mengubah tatanan sosial (Etsionis, 1968:4) akan tetapi kegiatan yang demikian bukan tanpa berbagai kendala, sebab setiap aksi melahirkan kontradiksi. Oleh sebab itu manusia aktif bukan mereka yang semata-mata melakukan segala keinginannya. Untuk bertindak (tepat) manusia yang demikian harus mencari pengetahuan atau informasi. Dia harus bersedia menunda ganjaran (imbalan) pribadi sehubungan dengan realisasi tujuan tujuan-tujuan kemasyarakatan yang lebih sempurna.
Daftar pustaka : http://abdullatifdega.blogspot.co.id/2011/12/globalization-of-nothing-george-ritzer.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar