NAMA : SUFIYAH
NIM : 2290150029
JURUSAN : PENDIDIKAN SOSIOLOGI
MASALAH
SEKS DAN GENDER
Sebelum kita membahas
masalah seks dan gender. Kita perlu tahu terlebih dahulu apa itu seks, dan apa
itu gender. Seks secara umum adalah perbedaan jenis kelamin antara laki-laki
dengan perempuan. Seks lebih menekankan pada biologis dari laki-laki atau perempuan,
sedangkan gender bukan kepada penekanan pada biologis laki-laki atau perempuan
tetapi lebih menekankan peran laki-laki
atau perempuan. Seks tercipta untuk
pemuasan birahi pasangan ( antara laki-laki dan perempuan).
Dari definisi seks dan
gender diatas bahwa jauh berbeda antara seks dan gender. Gender mempunyai dampak pada bidang-bidang
tertentu. Dari konsep gender tersebut
munculah teori-teori tentang feminisme yaitu tentang kaum perempuan. Teori feminisme merupakan sebuah generalisai
dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia
yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada wanita.
Gender
sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami
sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata
demikian. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti
‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Kata ‘gender’ bisa diartikan
sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai
dan perilaku (Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561).
Secara
terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M.
Lips, 1993: 4). Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter.
Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
konstruksi sosial budaya (Elaine Showalter (ed.), 1989: 3). Gender bisa juga dijadikan
sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin
Umar, 1999: 34). Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies
Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4).
Dari
beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya,
nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya.
Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex,
yaitu jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih
menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang
laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada
perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.
Sejarah
perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh
beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi
kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering
dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat
biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal
terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender
memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan
ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia
kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan
kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan
menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat
keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak
menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.
Dalam upaya mengubah perilaku seseorang terhadap
pemahaman gender, ada beberapa istilah yang perlu diketahui:
a. Buta Gender (gender blind), yaitu
kondisi/keadaan seseorang yang tidak memahami tentang pengertian/konsep gender
karena ada perbedaan kepentingan laki-laki dan perempuan.
b. Sadar Gender (gender awareness), yaitu
kondisi/keadaan seseorang yang sudah menyadari kesamaan hak dan kewajiban
antara perempuan dan laki-laki.
c. Peka/Sensitif Gender (gender sensitive),
yaitu kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan menilai hasil
pembangunan dan aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender (disesuaikan
kepentingan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan).
d. Mawas Gender (gender perspective), yaitu
kemampuan seseorang memandang suatu keadaan berdasarkan perspektif gender.
e. Peduli/Responsif Gender (gender
concern/responcive), yaitu kebijakan/program/kegiatan atau kondisi
yang sudah dilakukan dengan memperhitungkan kepentingan kedua jenis kelamin.
Teori gender yang berpengaruh dalam
perbincangan persoalan gender : Teori Psikoanalisa atau identifikasi (Sigmund
Freud) (Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan
perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas). Teori
Strukturalis-Fungsionalism (Hilary M. Lip, Linda L. Lindsey,
R. Dahrendolf) (Teori ini mencari unsur-unsur
mendasar yang berpengaruh didalam suatu masyarakat, mendefinisikan fungsi
setiap unsur dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam
masyarakat). Teori
Konflik (Karl Mark, Friedrich Engels) (Mengemukakan bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan
perempuan tidak disebabkan perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari
penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam
konsep keluarga). Teori Feminisme.1). Feminis Liberal (Margaret
Fuller, Harriet Martineau, Angelina Grimke, Susan Anthony). (Mengakui organ reproduksi merupakan konsekwensi, teori ini menekankan bahwa
laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi). 2). Feminis
Marxis-Sosialis (Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg). (Berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis
kelamin dengan melontarkan issue bahwa ketimpangan adalah faktor budaya alam). 3). Feminis
Radikal (Menggugat semua yang berbau
patriarki, bahkan yang ekstrem berpendapat tidak membutuhkan laki-laki, dalam
kepuasan seksual juga dapat diperoleh dari sesama perempuan, mentolerir praktek
lesbian). Teori
Sosio-Biologis (Pierre Van Den Berghe, Lionel Tiger dan Robin Fox) (Gabungan faktor biologis dan sosial menyebabkan laki-laki lebih unggul dari
pada perempuan. Fungsi reproduksi dianggap penghambat untuk mengimbangi
kekuatan dan peran laki-laki).
Sejak dua
dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender
sudah mulai ramai dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan
di berbagai penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya
perdebatan panjang tentang pemikiran gerakan feminisme yang berlandaskan pada
analisis “hubungan gender”.
Berbagai kajian
tentang perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar,
tulisan-tulisan di media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan
sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan
ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun
menjamur di berbagai universitas yang kesemuanya muncul karena dorongan
kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan
dengan menggunakan perspektif yang baru.
Dimasukkannya
konsep gender ke dalam studi wanita tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling
tidak memiliki dua alasan. Pertama,
ketidakpuasan dengan gagasan statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara
pria dan wanita hanya menunjuk pada sosok biologisnya dan karenanya tidak
memadai untuk melukiskan keragaman arti pria dan wanita dalam pelabagi
kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan
bahwa kategori pria dan wanita merupakan konstruksi sosial yang membentuk pria
dan wanita. (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998: xxvi)
Namun
ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan
keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan
perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum
perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum
laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga
muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki dan perempuan akan istilah gender itu sendiri dan apa hakekat dari
perjuangan gender tersebut.
Bertolak dari
fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu
sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender.
Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting
karena kesamaan pengertian (mutual
understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan
menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang
tindih antara masalah-masalah perempuan
yang muncul karena perbedaan akibat seks
dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep
asing ke dalam konteks Indonesia.
Selama lebih dari sepuluh tahun
istilah gender meramaikan berbagai
diskusi tentang masalah-masalah perempuan, selama itu pulalah istilah tersebut
telah mendatangkan ketidakjelasan-ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang apa
yang dimaksud dengan konsep gender
dan apa kaitan konsep tersebut dengan usaha emansipasi wanita yang
diperjuangkan kaum perempuan tidak hanya di Indonesia yang dipelopori ibu
Kartini tetapi juga di pelbagai penjuru dunia lainnya.
Kekaburan makna atas istilah gender ini telah mengakibatkan perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari
kaum laki-laki yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang
dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya
dipermasalahkan oleh perjuangan gender
itu.
Konsep gender pertama kali harus dibedakan dari
konsep seks atau jenis kelamin secara
biologis. Pengertian seks atau jenis
kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat
dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan
pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.
Melalui
penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa seseorang akan
disebut berjenis kelamin laki-laki
jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma .
Sementara seseorang disebut berjenis
kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat
reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan
proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua tempat, di semua
budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.
Berbeda dengan
seks atau jenis kelamin yang
diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan sehingga
menjadi kodrat manusia, istilah gender yang diserap dari bahasa Inggris
dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya dalam Bahasa Indonesia,
---kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah mengubah gender menjadi jender--- merupakan
rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang
berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah,
waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3
September 1995)
Oleh karena gender merupakan suatu istilah yang
dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk jangka waktu yang lama, yang
disosialisasikan secara turun temurun
maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki
dan perempuan berlandaskan hubungan gender
dimaknai secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya
ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian upaya untuk
mendefinisikan konsep gender tetap
dilakukan dan salah satu definisi gender
telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarahwan, sebagai “a
constitutive element of social relationships based on perceived differences
between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.”
(1986:1067)
Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya
jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin,
lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut,
keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus
anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah
kodrat karena itu dibentuk oleh manusia.
Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari
waktu ke waktu, di suatu daerah dan
daerah yang lainnya. Oleh karena
itulah, identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah
bersifat universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja
bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk
mengerjakan pekerjaan rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini
dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang
dengan jenis kelamin perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa
mengerjakan perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap
sebagai wilayah kekuasaan kaum laki-laki.
Disinilah
kesalahan pemahaman akan konsep gender
seringkali muncul, dimana orang sering memahami konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”, sebagai sesuatu hal yang sudah
melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara
lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk sepanjang hidup seseorang oleh
pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan secara turun temurun dari
generasi ke generasi bukanlah bukanlah kodrat.
Data setatistik sex ratio

BalasHapusAYOO SERBUU GAN MUMPUNG GRATIS DAN MURAH
ADU BANTENG, Sabung Ayam, Sportbook, Poker, CEME, CAPSA, DOMINO, Casino
Modal 20 rb, hasilkan jutaan rupiah
Bonus 10% All Games Bolavada || Bonus Cashback 10% All Games Bolavada, Kecuali Poker ||
FREEBET AND FREECHIP 2017 FOR ALL NEW MEMBER !!! Registrasi Sekarang dan Rasakan Sensasi nya!!! ONLY ON : BOLAVADA(dot)com
BBM : D89CC515
sabung ayam
agen terpercaya
bandar judi