BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
KONFLIK
Konflik adalah suatu proses antara dua
orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan cara menghancurkannya atau membuatnya menjadi tidak berdaya. Konflik itu
sendiri merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat maupun yang tidak
pernah mengalami konflik antar anggota atau antar kelompok masyarakat lainnya,
konflik itu akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik yang dapat terkontrol akan menghasilkan integrasi yang baik, namun
sebaliknya integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan suatu konflik.
konflik organisasi menurut Robbins (1996)
adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara
dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh terhadap pihak-pihak yang
terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Pandangan ini dibagi
menjadi 3 bagian menurut Robbin yaitu :
Ø Pandangan tradisional.
Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan,
dan harus dihindari. Konflik ini suatu hasil disfungsional akibat komunikasi
yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan diantara orang-orang dan kegagalan
manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan tersebut.
Ø Pandangan kepada hubungan manusia.
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai
sesuatu peristiwa yang wajar terjadi didalam suatu kelompok atau organisasi.
Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena didalam
kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat. Oleh
karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna
mendorong peningkatan kinerja organisasi tersebut.
Ø Pandangan interaksionis.
Pandangan ini
menyatakan bahwa mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya suatu
konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai dan
serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif dan tidak inovatif.
Oleh karena itu, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara
berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat
dan kreatif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KARL
MARX
Marx hidup setelah dua revolusi besar yaitu setelah revolusi
Industri Inggris dan revolusi Kelas Borjuis Perancis.revolusi Borjuis di
Perancis membuat Kelas Borjuis berkuasa atas kekuasaan politik dan ekonomi yang
sebelumnya hanya dikuasai oleh para bangsawan-bangsawan Monarki Perancis. Di antara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang
sebagai tokoh utama dan yang paling controversial
yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap
peningkatan perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa
potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun
memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang
distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.
Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada
usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk
kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas
yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya
ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi
dan dipaksa oleh struktur tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi
materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya
terhadap kesadaran individu para pelakunya.
Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang
Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain
adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan
ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda,
pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang
serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam
menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.
Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma
budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk
membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha
mengungkapkan berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin
dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap
nilai dan norma ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu
mencerminkan kontrol dari kelompok dominan dalam masyarakat terhadap berbagai
media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan lembaga media massa), dimana
kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok dominan
dibentuk.
B. LEWIS
COSER
Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu
kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut
selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda
(teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada
kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.
Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial,
mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan
berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta
mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu.
Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.
Inti Pemikiran
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental
dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat
menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik
dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam
ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain.
Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik
ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang
berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang
yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat
identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan,
yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan
semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value)
ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok
dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi
dua, yaitu:
ü Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap
tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan
keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap
mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka
berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
ü Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari
tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan
ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam
masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti
teluh, santet dan lain-lain.
Menurut
Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis
tanpa sikap permusuhan atau agresi. Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan-
hubungan yang intim, maka pemisahan (antara
konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan.
Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih
saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk
menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan
sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif
bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan
primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan
yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut
benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan
hubungan tersebut.
C. RALF
DAHRENDORF
Teori
Konflik dan Teori Konsensus
Walaupun
Persons juga mengembangkan teori konflik yang tak begitu ia jelaskan tapi
pandangannya lebih mengarah pada teori konsensus. Karena masyarakat memiliki
dua muka yaitu konsensus dan konflik, maka ada beberapa teoritisi yang
mengembangkan muka-muka tersebut. Seperti halnya Lewis Cosser dan Randall
Collins, Ralf Dahrendorf pun berusaha menyuguhkan teori konflik yang
dianggap sangat berpengaruh pada perkembangan masyarakat.
Buku
yang ia karang membuatnya dikenal oleh masyarakat yaitu ‘Class and
Class Conflik in Industrial Society”. Buku
ini berisi rangkaian argument dan beberapa kasus tentang teory konflik yang
dianggap berbeda dengan teori konsensus yang lebih kita kenal dengan teori
struktural fungsional. Dalam pandangan kaum fungsionalis konflik dianggap
merusak tatanan masyarakat seperti Durkheim, Merton dan Persons. Pandangan kaum
fungsionalis tadi sangat bertolak belakang dengan para penganut konflik yang
menganggap konflik adalah suatu pola interaksi yang dianggap perlu sebagai
dasar dari adanya suatu interaksi.
Karya-karya
Dahrendorf pada umumnya banyak terinspirasi oleh karya- karya Marx dan
wujud dari protes Dahrendorf akan kaum Marxian, walaupun keduanya dianggap
berlawanan. Tetapi dalam buku yang ia karang Class and Class
Conflik in Industrial Society dia berargumen banyak
tentang teory Marxian yang ia pertentangkan tetapi memiliki banyak persamaan
yang tidak mau ia akui.
Meskipun
kedua teori memiliki dasar-dasar atau pandangan-pandangan tersendiri, tetapi
semua teori-teori ini akan menjadikan sosiologi menjadi lebih berkembang dengan
periode-periode yang telah dijalani. Bahkan banyak para pemikir- pemikir
mengeluarkan argumen tentang pandangan-pandangannya dengan para pemikir yang lain
yang membuat sosiologi sebagai dasar dari sebuah pemikiran yang bisa
diperdebatkan.
Teori konflik adalah suatu tatanan sosial yang
dilihat sebagai manipulasi dan kontrol dari sekelompok orang yang dominan dan
menganggap perubahan sosial terjadi secara cepat. Sedangkan pada teori
konsensus adalah suatu persamaan nilai dan norma yang dianggap penting bagi
perkembangan masyarakat.
D. RANDALL
COLLINS
Sempitnya wawasan pengetahuan
tentang hakikat makna agama, kurangnya pengertian dan kesadaran akan makna perbedaan
sebagai hukum alam (Sunnatullah),
dapat menimbulkan konflik antar pemeluk agama, atau penganut faham intern
umat beragama. Konflik adalah suatu pertentangan yang timbul dalam masyarakat,
baik individu ataupun kelompok, karena adanya perbedaan cara pandang, adanya
perbedaan kepentingan, yang pasti karena adanya perbedaan latar belakang sosial
budaya; berbeda latar belakang pengetahuan, keyakinan, norma dan nilai-nilai
yang dianutnya. Perbedaan sesungguhnya tidak harus selalu menimbulkan pertentangan,
jika masing-masing pihak yang merasa berbeda memiliki wawasan yang luas, cara
berfikir yang jernih serta niat yang lurus tanpa pretense apalagi prasangka
buruk. Secara teoritik, memang konflik selalu berangkat dari adanya perbedaan
yang menimbulkan ketegangan dan pertentangan, tetapi pada akhirnya akan membawa
perubahan. Seperti dijelaskan oleh Horton
(1996:19) bahwa perspektif konflik memusatkan perhatian pada perbedaan,
ketegangan dan perubahan yang dipaksakan dan dipertahankan oleh masing-masing
pihak untuk memperoleh keuntungan.
Pertentangan apapun secara etimologi
tidak bisa lepas dari konsep “konflik”,
seperti disebutkan dalam kamus Echols
(1997:568) dengan istilah oppsition,
conflicting, conflict, controversy, a conflict of desaires : pertentangan
kemauan. Dalam ilmu sosial, konflik juga merupakan salah satu perspektif yang
banyak digunakan untuk memandang gejala-gejala pertentangan dalam kehidupan
masyarakat, selain perspektif evolusionis, interaksionis, fenomenoligis,
fungsionalis, strukturalis yang juga digunakan untuk memahami aspek kehidupan
masyarakat dari cara pandang yang lain.
Menurut
Randall Collins, konflik
merupakan proses sentral kehidupan sosial sehingga dia tidak menganggap koflik
itu baik atau buruk. Penyebab terjadinya konflik bermacam-macam: dapat
disebabkan perbedaan individu, latar belakang budaya, kepentingan, ataupun
perubahan-perubahan nilai yang cepat. Konflik dalam pengertian longgar, yakni
perbedaan sosio-kultural, politik, dan ideologis di antara berbagai berbagai
kelompok masyarakatyang pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari keberadaan
manusia dalam kehidupan kolektif. Sampai kapanpun konflik akan selalu kita
temui. Secara garis besar konflik terjadi karena adanya sebuah perbedaan.
Dimanapun dan kapanpun perbedaan selalu ada sehingga konflik pun akan selalu
ada ketika perbedaan itu ada sedangkan perbedaan itu selalu ada dan tidak akan
hilang.
Konsep konflik yang pernah
dikembangkan Randall Collins ialah mengenai konsep konflik integratif. Konsep
integratif ibarat sepasang suami isteri yang sangat berbeda jenisnya, laki-laki
dan perempuan, berbeda adat istiadat, hobi dan kebiasaan, berbeda selera,
berbeda kemampuan, tetapi mereka bisa bersatu mendukung terciptanya keluarga
harmonis. Mengapa kok bisa, tentu saja karena masing-masing pihak bisa
saling mengerti, saling memahami, saling menerima, meskipun mungkin latar
belakang sosial budaya juga berbeda.
Berdasarkan konflok integratif dalam
sosiologi yang dikembangkan Randall Collins (1975) berkaitan dengan konflik
ideologi. Berdasarkan teorinya Collins dan Cosser berpendapat bahwa masyarakat
beragama hidup dalam dunia subyektif yang dibangunnya sendiri (that people life in self constructed
subyective worlds), dan masyarakat lain mempunyai kekuatan untuk melalukan
control. Masyarakat mempunyai persepsi sendiri berdasarkan sistem budayanya,
meskipun mungkin secara subyektif belum tentu sesuai dengan sistem ideologi
yang dianutnya. Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang mempertentangkan
teori konflik dengan teori fungsional-struktural, justru Coser mengungkapkan
komitmennya untuk menyatukan kedua pendekatan tersebut.
Pertentangan atau konflik menurut
konsep Ibnu Khaldun, lebih disebabkan
oleh pemahaman atau persepsi yang keliru terhadap makna “ashobiah”, yang dianut oleh masyarakat jahiliyah sebelum lahirnya
Islam. Konsep “ashobiah”
Jahiliyah merupakan perilaku yang tidak terpuji, timbul karena rasa sombong,
takabur dan keinginan untuk bergabung dengan suku yang kuat dan terhormat,
sehingga sering menimbulkan konflik antar suku yang ada di sekitarnya. Padahal
konsep “ashobiah” sebenarnya
mengandung nilai-nilai solidaritas sosial berdasarkan ajaran agama, sesuai
dengan makna “ashab” yang berarti
hubungan persahabatan atau “ishab”
yang berarti ikatan. Jadi “ashabiah”
berarti ikatan mental yang menghubungkan orang-orang secara kekeluargaan.
E.
JONATHAN TURNER
Turner (1998) memberikan gambaran
lahirnya teori konflik yang dimotori oleh tiga orang tokohnya. Adapun
ketiga tokoh yang mempunyai andil lahirnya teori konflik tersebut, antara lain:
Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel.
Dari pembacaan penulis, Turner (1998) kembali menekankan bahwa
masing-masing tokoh yang melahirkan teori konflik tersebut menyusun proposisi
yang berbeda-beda tentang kejadian konflik di masyarakat dari unit analisis
yang berbeda pula. Hal ini senada dengan pandangan Sanderson (2003) yang menekankan tiga komponen dasar dalam analisis
sistem sosiokultural. Menurutnya bahwa komponen-komponen dasar sistem
sosiokultural terdiri atas: superstruktur ideologis, struktur sosial, dan
infrastrukturl material. Ketiga komponen dasar inilah, yang kemudian dijadikan
pijakan para sosiolog dalam menganalisis fenomena atau kejadian-kejadian sosial
yang berlangsung.
Berdasarkan pijakan yang disusun
Sanderson (2003), Karl Marx adalah satu dari sekian tokoh sosiologi yang
menjadikan infrastruktur material sebagai determinasi sistem sosial yang
berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Dalam kaitannya dengan teori
konflik, Turner (1998) menekankan bahwa Marx dalam menyusun proposisinya
tentang proses konflik didasarkan atas ketidaksetaraan akses terhadap
sumberdaya. Ketidaksertaan ini, kemudian menciptakan kelompok (grup) yang
memposisikan dirinya sebagai ordinat (dominasi) disatu sisi, dan subordinat
(termarjinalkan) pada sisi lainnya.
Selanjutnya, Marx dalam Turner
(1998) mengatakan bahwa mereka yang tersubordinasi akan menjadi peduli terhadap
kepentingan kolektif mereka atas dominasi kelompok ordinat dengan
mempertanyakan pola distribusi sumberdaya alam yang tidak merata
tersebut. Akibatnya adalah rusaknya relasi (hubungan) antara kelompok
ordinat dengan kelompok subordinat disebabkan disposisi aleanatif yang
diciptakan oleh kelompok ordinat terhadap kelompok subordinat. Dalam
kondisi seperti ini, kelompok subordinat membangun kesatuan ideologi untuk
mempertanyakan sistem yang berlangsung dan melakukan ”perlawanan” melalui
kepemimpinan kolektif terhadap kelompok ordinat.
F.
C. WRIGHT MILLS.
Mills adalah salah satu sosiolog
Amerika yang berusaha menggabunkan perspektif konflik dengan kritik terhadap
keteraturan sosial[1][1]. Ia banyak dikritik karena
karya-karyanya terlau berisifat polemis dan menyerang kelompok-kelompok
tertentu. Mills yakin bahwa mungkin menciptakan syuatu masyarakt yang baik di
atas dasar pengetahuan dan bahwa kaum intelektual harus mengambil tanggung
jawab ini, yakni menciptakan sebuah masyarakat yang baik.
Jadi
kesimpulannya, teori konflik itu elemen-elemen yang mempunyai kepentingan yang
berbeda-beda sehingga mereka berjuang untuk saling mengalahkan satu sama lain
guna meperoleh kepentingan yang sebesar-besarnya. Menurut karl Marx konflik
merupakan salah satu kenyataan sosial yang bisa ditemukan dimana-mana,
sedangkan menurut Ralf Dahendorf
masyarakat mempunyai 2 wajah yakni konflik dan konsensus, kemudian menurut Jonathan Turner konflik sebagai suatu
proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah pada interaksi yang disertai
kekerasan antara dua pihak atau lebih, lalu menurut Lewis Coser Ia memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi dari
konflik, dan yang terakhir menurut C.
Wright Mills Ia menggabungkan perspektif konflik dengan kritik terhadap
keteraturan sosial.
G.
GEORGE SIMMEL
Interaksi yang terjadi baik antar
individu maupun antar kelompok kadang menimbulkan konflik, dan konflik
merupakan pokok bahasan tersendiri yang diuraikan oleh Simmel,menurut Simmel
masalah mendasar dari setiap masyarakat adalah konflik antara kekuatan-kekuatan
sosial dan individu, karena, pertama, sosial melekat kepada setiap individu
dan, kedua, sosial dan unsur-unsur individu dapat berbenturan dalam individu,
meskipun pada sisi lain dari konflik merupakan sarana mengintegrasikan
individu-individu. Karena setiap individu meiliki kepentingan yang berbeda-beda
dan adanya benturan-benturan kepentingan tersebut mencerminkan dari sikap-sikap
individu tersebut dalam usahanya memenuhi kebutuhannya, dari sikap yang nampak
ini Simmel memiliki sebuah pemikiran yang menghasilkan konsep individualisme
ini (dari kepribadian yang berbeda) terwujud dalam prinsip-prinsip ekonomi,
masing-masing, persaingan bebas dan pembagian kerja.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konflik adalah suatu proses antara dua
orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan cara menghancurkannya atau membuatnya menjadi tidak berdaya. Konflik itu
sendiri merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat maupun yang tidak
pernah mengalami konflik antar anggota atau antar kelompok masyarakat lainnya,
konflik itu akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik yang dapat terkontrol akan menghasilkan integrasi yang baik, namun
sebaliknya integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan suatu konflik.
konflik organisasi menurut Robbins (1996)
adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara
dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh terhadap pihak-pihak yang
terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
B. SARAN
Saya menyarankan kepada pembaca agar memberi kritik dan
saran terhadap makalah ini yang berjudul “Teori dan Garis Besar Pemikiran Para Tokoh Teori
Konflik” yang sifatnya membangun, demi pembuatan makalah yang lebih baik ke
depannya.
Daftar pustaka : http://marlinsocius-unhas10.blogspot.co.id/2013/09/konflik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar