Filsafat
Pendidikan Menurut John Locke dan John Dewey
(Oleh:
Koko Istya Temorubun, ss)
Pendahuluan
Dalam tugas ini kami membahas
pertama-tama tentang pemikiran-pemikiran John Locke dan John Dewey seputar
manusia dan dunia pendidikan dari segi filsafati. Pemikiran John Locke dan John
Dewey tentang filsafat pendidikan berangkat dari pemikirannya tentang manusia.
Karena itu sebelum membahas mengenai pandangan mereka tentang pendidikan
terlebih dahulu kami menguraikan sedikit tentang manusia sebagai bagian dari
pokok pemikirannya tentang filsafat pendidikan.
Berdasarkan pandangan mereka kami
mencoba melihat relevansinya bagi peranan guru dalam proses mengajar dan
peranan siswa dalam proses belajar.
I. Filsafat Pendidikan Menurut John
Locke dan John Dewey
1. John Locke
1.1. Pokok Pikiran Filosofis John
Locke
Pemikiran filosofis John Lucke
menampilkan perhatiannya yang begitu besar bagi kondisi natural alam dan
manusia. Maksudnya John Lucke menampilkan sistem pemikiran filosofis yang
berbasis pada kondisi natural. Pemikiran Lucke tentang alam dan manusia
ditempatkannya dalam konteks pengalaman sebagai dasar dari perkembangan hidup
manusia.
Locke mengaskan bahwa tak ada
realitas lain yang lebih tinggi dari pada dunia empiris. Dunia itu berisi
kualitas-kualitas primer yang menjadi dasar dan pembentuk manusia. Tanpa sustratum
material yang ada dalam alam, manusia tak dapat membayangkan adanya
kualitas-kualitas sekunder yang ditangkap oleh pancaindra dan yang
direfleksikan oleh akal budi. Tak ada realitas lain yang lebih tinggi dari pada
dunia indrawi. Hal ini berarti, alam menjadi sumber pengalaman dan pengetahuan
manusia. Semua pengetahuan manusia dapat tergantung pada penglihatan aktualnya
dan pengalaman indrawinya dengan obyek-obyek material. Dalam kontak tersebut,
pancaindra menangkap obyek-obyek itu, dan dengan bantuan akal budinya,
obyek-obyek itu dianalisa dan direfleksikan. Oleh sebab itu, bagi John Locke
sendiri, menolak adanya faktifisasi obyek meterial, identik dengan menyangkan
eksistensi pengetahuan.
Pandangan Locke tentang manusia
berangkat dari penolakannya terhadap teori innatisme[1] yang mengakui adanya ide-ide bawaan dari diri
manusia. Ia berpendapat bahwa manusia tidak dapat menghasilkan pengetahuannya
dari dirinya sendiri.[2] Ketika lahir, manusia bagaikan kertas putih
yang baru dan belum terisi. Dalam dirinya tidak ada ide yang diwariskan oleh
Allah, tak ada ide tentang kebenaran moral dan kebaikan,[3] bahkan kecenderungan atau kebiasaan-kebiasaan
bawaan. Akal budi masih kosong. Namun dalam situasi yang kosong itu, manusia
sadar bahwa ia tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi eksistensinya.
Dalam usaha untuk mewujudkan eksistensinya tersebut, manusia mulai membangun
kontak dengan lingkungan sekitarnya dan membentuk dalam dirinya
pengalaman-pengalaman akan setiap obyek yang dihadapinya. Konsekuensinya, akal
budi manusia mulai terisi dan ia menjadi person yang rasional.
Penolakan Locke atas ide bawaan
mendukung usaha individu dalam kebutuhannya untuk mendapatkan pengetahuan dari
pengalaman.[4] Menurutnya, seorang dapat menjadi budak atau
bebas ditentukan oleh hak-hak kodrati seperti hak hidup, kebebasan dan hak
milik.[5] Dengan demikian, Locke menampilkan karakter
dasar manusia sebagai makhluk rasional dan moral.[6] Menurut Locke, secara kodrati manusia itu
baik dan tanpa cela. Dalam kondisi alamiahnya itu, ia menjadi person yang bebas
untuk menentukan dirinya dan menggunakan hak miliknya tanpa tergantung pada
kehendak orang lain.[7] Namun dalam kebebasannya tersebut, manusia
harus tinggal dan membentuk satu masyarakat politis, di mana seluruh
anggotanya memiliki hak dan kebebasan yang sama. Serentak juga ia sadar bahwa
semua manusia sama. Dalam kebersamaan tersebut, mereka mempercayakan kekuasaan
kepada penguasa dengan syarat bahwa hak-hak kodrati itu dihormati oleh
penguasa-penguasa tersebut[8] dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan
hidup.
1.2. Pandangan John Locke Tentang
Pendidikan
A. Tujuan Pendidikan
Dalam pandangannya tentang filsafat
ilmu pengetahuan, Locke mengemukakan tentang beberapa tujuan dari pendidikan,
yakni pertama, pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran setiap manusia (bangsa). Oleh sebab itu, sebagai bagian akhir dari
pendidikan, pengetahuan hendaknya membantu menusia untuk memperoleh kebenaran,
keutamaan dan kebijaksanaan hidup.[9] Kedua, pendidikan juga bertujuan untuk
mencapai kecerdasan setiap individu dalam menguasai ilmu pengetahuan sesuai
dengan tingkatannya. Dalam konteks itu, Locke melihat pengetahuan sebagai usaha
untuk memberantas kebodohan dalam hidup masyarakat.[10] Setiap manusia diarahkan pada usaha untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Ketiga, pendidikan
juga menyediakan karakter dasar dari kebutuhan manusia untuk menjadi pribadi
yang dewasa dan bertanggungjawab.[11] Dalam arti ini, pengetahuan dilihat oleh
John Locke sebagai sarana untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang
bermoral.[12] Seluruh tingkah laku diarahkan pada usaha
untuk membentuk pribadi manusia yang baik, sesuai dengan karakter dasar sendiri
sejak diciptakan. Keempat, pendidikan menjadi sarana dan usaha untuk
memelihara dan membaharui sistem pemerintahan yang ada.[13]
B. Hakekat Pendidikan
Menurut Locke, seluruh pengetahuan
pada hakekatnya berasal dari pengalaman. Apa yang kita ketahui melalui
pengalaman itu bukanlah obyek atau benda yang hendak kita ketahui itu sendiri,
melainkan hanya kesan-kesan pada pancaindra kita. Dalam bukunya An Essay
Concerning Human Understanding, Locke berpendapat bahwa ide datang dari dua
sumber pengalaman, yaitu pengalaman lahiria (sensation) dan pengalaman
badaniah (reflektion).[14] Kedua pengalaman ini saling menjalin. Locke
melukiskan bahwa pikiran sebagai sesuatu lembaran kosong yang menerima segala
sesuatu dari pengalaman. Materi-materi diperoleh secara pasif melalui
pancaindra dan dengan aktivitas pikiran materi-materi itu disusun menjadi suatu
jaringan pengetahuan yang disebutnya sebagai reflection.[15] Materi-materi yang berada di luar kita
menimbulkan di dalam diri kita gagasan-gagasan dari pengalaman lahiriah. Oleh
Locke, gagasan-gagasan ini diberdakan atas gagasan-gagasan tunggal (simple
ideas) dan gagasan-gagasan majemuk (complex ideas). Gagasan-gagasan
tunggal muncul kepada kita melalui pengalaman, tanpa pengolahan secara logis
sedangkan gagasan-gagasan majemuk timbul dari perpaduan gagasan-gagasan
tunggal.
C. Metode Pendidikan
Pada dasarnya Locke menolak metode
pangajaran yang biasa disertai dengan hukuman. Baginya, tata krama dipelajari
melalui teladan dan bahasa dipelajari melalui kecakapan.[16] Dengan demikian metode yang ditawarkan Locke
adalah pelajaran melalui praktek. Metode harus membawa para murid kepada
praktek aktivitas-aktivitas kesopanan yang ideal sampai mereka menjadi
terbiasa.[17] Anak-anak pertama-tama belajar melalui
aktivitas-aktivitas yang dilakukan, baru kemudian tiba pada pengertian atau
pengetahuan atas apa yang ia lakukan.
D. Kurikulum Inti
John Locke menegaskan kurikulum
harus diarahkan demi kecerdasan individual, kemampuan dan keistimewaan
anak-anak dalam menguasai pengetahuan dan bukan pada pengetahuan yang biasa
diajarkan dengan hukuman yang sewenang-wenang. Kurikulum bagi kaum miskin
hendaknya difokuskan pada ibadat yang teratur demi memperbaiki kehidupan
religius dan moral, pada kerajinan tangan dan ketrampilan pertanian, pada
pendidikan kesenian, dengan suatu maksud bahwa para murid harus belajar
membaca, menulis dan mengerjakan ilmu pasti.[18]
Menurut Locke perkembangan
kepribadian yang baik terdiri dari tiga bagian: kebajikan, kebijaksanaan dan
pendidikan. Pendidikan ini mencakup membaca, menulis dan ilmu menghitung,
bahasa dan kesusastraan, pengetahuan alam, pengetahuan sosial dan kesenian.[19] Ia juga menekankan studi geografi,
aritmatika, astronomi, geometri, sejarah, etika, dan hukum sipil.
2. John Dewey
2.1. Pandangan Filosofis John Dewey[20]
Pandangan Dewey tentang manusia
bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia
adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk akan
diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya
adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat
di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu
berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas
kemungkinan alamiahnya, perkembangan juga turut didukung oleh masyarakat yang
ada disekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap
pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting
dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat
statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sebagai fleksibel.
Fleksibelitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok
pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur
psikologi manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu.
Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial
kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi
kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara orang bersikap terhadap
stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan
kesekitarannya.
2.2. Pandangan John Dewey Tentang
Pendidikan
A. Hakekat Pendidikan
Dewey menjadi sangat terkenal karena
pandangan-pandangannya tentang filfsafat pendidikan. Pandangan-pandangan yang
dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika.
Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia mulai
mengkritik tentang sistem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi.
Sekarang ini, pandangannya tidak berlaku di Amerika tetapi juga di banyak
negara lain di seluruh dunia.[21]
Bagi Dewey, kehidupan
masyarakat yang berdemokratis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan
hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia mengatakan bahwa
ide pokok demokratis adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perluanya
pastisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai
yang mengatur hidup bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu
keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara
sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.[22] Sehubungan dengan hal tersebut maka Dewey
menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia dengan
secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebasan akademik diperlukan guna
mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpuh pada interaksi dan
kerja sama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu
sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi
bersama, dan bekerja sama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara
implisit hal ini berarti sekolah demokratis harus mendorong dan memberikan
kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan, merancang kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
B. Fungsi dan Tujuan Pendidikan.
Dewey sangat menganggap penting
pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu
percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan
keberanian dan pembentukan kemampuan inteligensi. Dengan itu, dapat pula
diusahakan kesadaran akan pentingnya penghormatan pada hak dan kewajiban yang
paling fundamental dari setiap orang. Baginya ilmu mendidik tidak dapat
dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan
sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan
yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama dan membangun
kembali yang baru.
C. Kurikulum Inti
Bagi Dewey, lebih penting melatih
pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, dari pada mengisinya
secara sarat dengan formulai-formulasi secara sarat teoritis yang tertib.[23] Pendidikan harus pula mengenal
hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan
refleksi. Pendidikan yang merupakan kontiunitas dari refleksi atas pengalaman
juga akan mengembangkan moralitas dari anak-anak didik. Dengan demikian belajar
dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan.
Dalam proses ini, ada perjuangan yang terus menerus untuk membentuk teori dalam
konteks eksperimen dan pemikiran.
Ia juga mengkritik sistem kurikulum
yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan masukan-masukan dari bawah.
D. Metode Pendidikan
Untuk memahami pemikiran John Dewey,
kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia
pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang
hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan peranan para siswa
dalam sistem pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk
penerapan doktrin-doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan.
Dewey mengadakan penelitiannya
mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori
pendidikannya dalam praktek di sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola
dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan
menghafal. Sebagai gantinya, ia menekankan pentingnya kreativitas dan
keterlibatan siswa dalam diskusi dan pemecahan masalah.[24]
II. Relevansi bagi Peranan Guru dan
Siswa
A. Peranan Guru
A.1. Guru sebagai mediator dan
fasilitator
Menurut Locke dan Dewey, yang
penting bagi seorang guru adalah melatih pikiran siswa untuk memecahkan masalah
yang dihadapi, dari pada mengisinya secara sarat dengan formulai-formulasi,
teori-teori. Guru tidak boleh membuat penyiksaan fisik yang sewenang-wenang
terhadap siswa dan mengindoktrinir mereka dengan doktrin-doktrin. Sebab dengan
demikian hanya akan menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Dewey
memprotes cara belajar dengan mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal.
Yang penting yakni guru mendampingi siswa dalam berkreativitas dan berdiskusi
dalam menyelesaikan masalah.
Dengan demikian seorang guru harus
berperan sebagai mediator atau fasilitator yang membantu proses belajar seorang
siswa. Oleh kerena itu, seorang guru memiliki tiga tugas utama:
- Guru menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa menyusun rancangan belajar. Seorang guru memungkinkan siswanya untuk menjalankan proses belajar atau membentuk pengertiannya sendiri. Yang perlu diperhatikan di sini adalah guru menyediakan pengalaman belajar bagi siswa itu sendiri. Mengajar dalam bentuk ceramah bukanlah menjadi tugas utama seorang guru.
- Guru memberikan kegiatan-kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan membantu siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya atau mengkomunikasikan ide ilamiah mereka. Dengan kata lain, guru memberi semangat kepada siswa untuk berpikir, mencari pengalaman baru. Bahkan guru perlu memberikan pengalaman konflik. Pengalaman konflik yang dimaksudkan yakni pemaparan mengenai sebuah kasus atau persoalan yang perlu dipecahkan sendiri oleh siswa tersebut. Guru harus menyemangati siswa.
- Guru memonitor atau mengevaluasi apakah proses berpikir siswa dan cara mengekspresikan pikiran berhasil atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa cukup untuk memecahkan persoalan-persoalan yang akan dihadapi.
Sangatlah penting bahwa seorang guru
tidak pernah mengatakan bahwa pandangannya merupakan kebenaran tunggal. Selalu
terbuka kemungkinan terhadap perembangan baru. Guru yang baik seharusnya tidak
mengajukan solusi yang tunggal tanpa argumen terhadap satu persoalan. Artinya
menawarkan jawaban tetapi siswa diminta untuk menemukan jawaban-jawaban
alternatif.
Mengajar bukan dimaksudkan
memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa. Mengajar
merupakan kegiatan membantu siswa untuk mengembangkan pemikirannya sendiri.
Mengajar merupakan bentuk pastisipasi guru dalam proses membentuk pengertian
siswa. Dengan kata lain, aktivitas mengajar merupakan suatu bentuk dari proses
belajar. Mengajar yang baik hanya menjadi mungkin kalau si pengajar berpikir
dengan baik. Berpikir yang baik merupakan syarat mutlak yakni mempunyai
pengertian yang jernih dan susunan pengertian yang teratur. Belajar dalam
pengertian ini dimasudkan sebagai usaha seseorang untuk berpikir secara
konstruktif. Proses berpikir jauh lebih penting dari pada sekedar berusaha
untuk mendapatkan jawaban. Siswa dibantu untuk berpikir, siswa berusaha untuk
mencari jawaban sendiri.
A.2. Penguasaan bahan
Peran guru sangat menentukan
penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai pandangan yang
sangat luas mengenai pengetahuan tentang bahan yang akan diajarkan. Penguasaan
bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk
sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada suatu model.
Guru yang berperan sebagai
“diktator” selalu menganggap jalan yang ia berikan atau pemikirannya satu-satunya
yang benar. Cara ini akan mematikan kreatifitas dan pemikiran para siswa.
Sangat perlu bahwa seorang guru, selain menguasai bahan juga mengerti konteks
bahan itu. Misalnya seorang guru fisika, perlu mengerti bagaimana suatu teori
fisika berkembang dalam sejarah. Pemahaman historis ini akan meletakan suatu
pengatahuan dalam konteks yang lebih mudah dipahami dari pada bila terlepas
begitu saja.
A.3. Strategi mengajar
Mengajar adalah suatu seni yang
dituntut bukan hanya penguasaan teknik melainkan juga intuisi. Beberapa ciri
mengajar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru adalah:
- Orientasi. Murid diberikan kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam memperlajari suatu topik. Murid diberikan kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
- Elicitasi. Siswa dibanu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis dan lain-lain. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diamatinya dalam bentuk tulisan, gambar atau poster.
- Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan dalam bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan siswa lebih lengkap.
- Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada siatuasi yang dihadapi sehari-hari, seorang perlu merevisi gagasannya, entah menambah keterangan atau mengubahnya.
A. 4. Evaluasi proses belajar
Dalam mengevaluasi cara belajar
siswa, seorang guru tidak dapat mengevalusi apa yang sedang dibuat siswa atau
apa yang mereka katakan. Yang harus dibuat guru adalah menunjukkan kepada siswa
apa yang mereka pikirkan itu tidak cocok atau tidak sesuai untuk persoalan yang
dihadapi. Guru tidak menekankan kebenaran tetapi kebehasilan suatu
usaha/operasi. Tidak ada gunanya mengatakan siswa itu salah karena hanya
merendahkan motivasi belajar.
Kepada siswa diberikan suatu
persoalan yang belum pernah ditemui sebelumnya, amati bagaimana mereka
menyelesaikan persoalan itu. Pendekatan siswa terhadap persoalan itu lebih
penting dari pada jawaban akhir yang diberikannya. Dengan mengamati cara
konseptual yang dipakai siswa, guru dapat menangkap bagaimana jalannya konsep
mereka.
A. 5. Hubungan guru dan siswa
Guru bukanlah orang yang tahu segala-galanya
dan siswa bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberitahu. Dalam
proses belajar siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, guru
hanya membantu agar pencarian itu berjalan dengan baik. Guru dan siswa
bersama-sama membangun pengetahuan. Hubungan mereka lebih sebagai mitra yang
bersama-sama membangun pengetahuan.
B. Peranan Siswa:
Kegiatan belajar merupakan kegiatan
yang aktif dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar membentuk
pengertiannya dan memberi makna pada pengalamannya. Hal itu berarti seorang
siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Karena ia sendirilah yang
menjalankan proses penalaran dalam bentuk pengertian dan makna.
Belajar oleh seorang siswa merupakan
suatu proses organik, bukan proses mekanik. Proses organik dalam arti
suatu proses yang hidup, yang aktif, yang terus berkembang. Proses dimana
seorang siswa mengadakan penemuan-penemuan baru melalui penelitian. Berbeda
dengan proses mekanik dimana seorang hanya mengumpulkan data, fakta,
definisi. Ciri proses mekanik adalah statis.
Sungguh penting setiap siswa dalam
proses belajarnya mempunyai pengalaman tentang menyusun hipotesis dan menguji
hipotesis (melalui penelitian). Sungguh penting siswa mempunyai pengalaman
tentang memecahkan pengalaman, dialog, mengekspresikan pikiran melalui tulisan,
gambar dan lain-lain, termasuk pengalaman refleksi. Semua pengalaman ini dapat
dikembangkan melalui dua hal, pertama karya tulis: dalam menyusun karya
seorang siswa diharapkan untuk mengembangkan pikirannya tentang pokok persoalan
yang dipilihnya. Proses pelaksanaannya dibuat secara idividual.
Kedua, studi kelompok: dalam studi kelompok semua siswa diharapkan
mengembangkan pikirannya secara kolektif. Pandangan atau pendapat setiap orang
menjadi masukan bagi yang lain untuk memperkaya pengetahuannya. Dalam dialog
diharapakan mendengarkan pembicaraan orang lain. Yang penting bukanlah
pembicaraan itu benar atau tidak, melainkan bagaimana saya mendengar dan
mengerti pembicaraan itu atau tidak. Sesudah mendengarkan pembicaraan orang
lain barulah menanggapi. Melalui studi kelompok seorang siswa harus masuk dalam
bingkai pemikiran atau pengalaman orang lain.
III. Kesimpulan
Telah disadari bahwa sistem
pendidikan kita kurang memberikan ruang gerak bagi perserta didik untuk
mengembangkan secara lebih khusus bakat-bakat yang ada dalam diri peserta
didik. Konsekwensi siswa hanya menjadi yang taat pada “perintah” atau
“larangan” sehingga pendidikan yang semestinya membebaskan dan mendewasakan
ratio manusia, malah menjadi ruang yang mengurung ratio manusia dalam
kemapanan-kemapanan teori. Dan inilah dikritik oleh John Dewey. Menurut Locke,
dalam kondisi tersebut, ratio manusia tidak bisa menjalankan daya refleksinya,
sehingga ia cenderung terkurung dalam kebiasaan-kebiasaan dan tradisi lama,
serta komleksitas ide-ide, tanpa disertai dengan pengalaman dan
ketrampilan-ketrampilan khusus. Maka jalan keluar yang terbaik ialah melepaskan
ratio dari kemapanan-kemapanan tersebut, yakni dengan mengubah sistem
pendidikan yang kompleks tersebut.
Mengajar merupakan proses membantu
seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer
pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (siswa)
atau kebiasaan menghafal, melainkan membantu seseorang agar dapat membentuk
sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap suatu obyek yang ingin
diketahui. Dalam hal ini penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan
dialog secara kritis harus dikembangkan.
Dalam proses ini seorang guru
bertugas sebagai mitra yang aktif bertanya, merangsang pemikiran, menciptakan
persoalan, membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya. Yang
terpenting adalah menghargai dan menerima pemikiran siswa apapun menguasai
bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih mudah menerima gagasan dan
pendapat siswa yang berbeda.
Demikianlah untuk memperoleh mutu
pendidikan yang baik diperlukan para pendidikan yang memiliki profesionalitas
dalam mengajar serta mendampingi siswa dalam proses belajar.
Daftar pustaka : https://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/filsafat-pendidikan-menurut-john-locke-dan-john-dewey/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar